Sabtu, 07 November 2009

PENDIDIKAN


http://pakguruonline.pendidikan.net

REORIENTASI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN
DI ERA GLOBAL

Oleh: Sujarwo, M.Pd *)

Abtract

Pendidikan merupakan sarana yang sangat strategis dalam melestarikan sistem nilai yang berkembang dalam kehidupan. Proses pendidikan tidak hanya memberikan pengetahuan dan pemahaman peserta didik, namun lebih diarahkan pada pembentukan sikap, perilaku dan kepribadian peserta didik, mengingat perkembangan komunikasi, informasi dan kehadiran media cetak maupun elektronik tidak selalu membawa pengaruh positif bagi peserta didik. Tugas pendidik dalam konteks ini membantu mengkondisikan pesera didik pada sikap, perilaku atau kepribadian yang benar, agar mampu menjadi agents of modernization bagi dirinya sendiri, lingkungan, masyarakat dan siapa saja yang dijumpai tanpa harus membedakan suku, agama, ras dan golongan. Pendidikan diarahkan pada upaya memanusiakan manusia, atau membantu proses hominisasi dan humanisasi, maksudnya pelaksanaan dan proses pendidikan harus mampu membantu peserta didik agar menjadi manusia yang berbudaya tinggi dan bernilai tinggi (bermoral, berwatak, bertanggungjawab dan bersosialitas). Untuk mewujudkan capaian tersebut, implementasikan pendidikan harus didasarkan pada fondasi pendidikan yang memiliki prinsip learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Seiring dengan perkembangan global pergeseran orientasi pendidikan dalam mewujudkan kualitas sumber daya manusia yang unggul harus dilakukan secara fundamental dan populis dengan mendasarkan pada sistem nilai yang dimiliki.

Kata Kunci: Fondasi Pendidikan, Pengembangan Pendidikan, Kualitas SDM

Pendahuluan

Era globalisasi yang melanda dunia termasuk Indonesia berlangsung sangat cepat yang menimbulkan dampak global pula yang sekaligus menuntut kemampuan manusia unggul yang mampu mensiasati dan mengantisiapasi kemungkinan-kemungkinan yang sedang dan akan terjadi. Globalisasi akan semakin membuka diri bangsa dalam menghadapi bangsa-bangsa lain. Batas-batas politik, ekonomi, sosial budaya antara bangsa semakin kabur. Persaingan antar bangsa akan semakin ketat dan tak dapat dihindari, terutma dibidang ekonomi dan IPTEK. Hanya negara yang unggul dalam bidang ekonomi dan penguasaan IPTEK yang dapat mengambil manfaat atau keuntungan yang banyak. Globalisasi di bidang ekonomi ditandai dengan adanya persetujuan GATT pada putaran Uruguay di Marrakesh yang telah diratifikasi WTO yang dilanjutkan dengan kesepakatan APEC di Bogor tahun 1994 dan di Osaka tahun 1995 yang mengupayakan terbentuknya kawasan perdagangan bebas di Asia-Pasifik pada tahun 2020, dan terbentuknya kawasan perdagasan bebas (AFTA) ASEAN yang telah dilaksanakan sejak tahun 2003. Globalisasi tidak hanya terjadi di bidang ekonomi, namun juga terjadi hampir di seluruh bidang kehidupan manusia, bidang sosial, ekonomi, pendidikan, hankam, budaya. Bahkan perkembangan global yang paling cepat adalah bidang teknologi informasi. Penguasaan teknologi informasi merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh masyarakat yang akan memenangkan persaingan di kompetisi global. Kondisi tersebut menuntut sumber daya manusia yang memiliki keunggulan komperatif dan keunggulan kompetetif. Manusia global adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa (bermoral), mampu bersaing, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki jati diri. Salah satu wahana yang sangat strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang unggul adalah melalui pendidikan
Kemajuan teknologi, ketersediaan modal, barang, sumber daya manusia (SDM) akan mengalir deras dari berbagai belahan dunia yang tidak mungkin dapat dihindari oleh negara manapun. Terkait dengan kondisi tersebut, tuntutan akan reformasi pendidikan (“revolusi pendidikan”) sangat diperlukan, mengingat model pendekatan pendidikan kita selama ini dinilai cenderung bersifat indokrinatif, dogmatis, gaya bank, dan opresif birokratis, orientasi pendidikan tidak sesuai dengan jiwa dan semangat reformasi pendidikan yang mendambakan keunggulan individu, masyarakat dan bangsa di tengah-tengah era otonomi daerah, era demokratisasi, era teknologi informasi dan kehidupan global. Akibatnya kualitas SDM yang dihasilkan dari lembaga pendidikan kita relative sangat rendah dan tertinggal dengan negara-negara tetangga
Sementara kualitas pendidikan yang diandalkan sebagai wahana dalam menciptakan kualitas sumber daya manusia masih memprihatinkan. Harian KOMPAS tanggal 5 September 2001 memberitakan bahwa Abdul Malik Fajar paa saat itu selaku Mendikbud juga mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih terburuk di kawasan Asia. Political and Economic Risk Consultancy (PERC) melakukan survei yang hasilnya dari 12 negara yang disurvei menyebutkan bahwa Indonesia menduduki urutan 12, sedangkan Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang, Taiwan, India, Cina dan Malaysia. Sedangkan berdasarkan hasil survei dari human development indeks tahun 2002, kualitas SDM kita berada di peringkat ke 110 dari 173 negara yang disurvai. Secara kuantitatif masih banyak anak-anak kita yang tidak mendapat layanan pendidikan secara memadai.

Sebagai gambaran tentang kondisi tersebut adalah:
1) Dari sekitar 16,17 juta anak usia dini (0-6 tahun yang terlayani pendidikannya baru 7,16 juta (27,36%). Apabila dirinci, usia 0-3 tahun dari 13,50 juta, yang terlayani di bina keluarga Balita atau yang sejenisnya baru 2,53 juta (18,59%), Usia 4-6 tahun berjumlah 12,67 juta, yang tidak terlayani pendidikannya 4,63 juta (36,54%), yakni: di TK (± 1,6 juta), di RA (±0,4 juta), di kelompok Bermain (± 4,800 anak), di Penitipan Anak (± 9,200 anak), dan di SD/MI (±2,6 juta),(EFA Indonesia, 2001).
2) Buta huruf usia 10-44 tahun ada 5,9 juta (4,8% dari total penduduk usia 10-44 tahun, dan buta huruf usia 45 tahun ke atas ada 12,7 juta (31,2% dari total penduduk usia 45 tahun ke atas) (EFA Indonesia, 2001).

Berangkat dari kondisi tersebut, perubahan orientasi pendidikan kita harus segera dilakukan reformasi (”revolusi”) secara mendasar (mind set pelaku) pada semua komponen dalam sistem pendidikan kita. Perubahan orientasi pendidikan tidak hanya berkutat pada perubahan kurikulum semata, namun yang terpenting saat ini adalah adanya “revolusi” sikap mental, pola pikir dan perilaku pelaku pendidikan (aparat, pengelola dan pengguna pendidikan) secara mendasar. Kebijakan ini dilakukan agar dapat mewujudkan pendidikan yang lebih demokratis, memiliki keunggulan komparatif dan kompetetif, memperhatikan kebutuhan daerah, mampu mengembangkan seluruh potensi lingkungan dan potensi peserta didik serta lebih mendorong peran aktif dari masyarakat. Untuk mendukung pencapaian kondisi tersebut, pengelola pendidikan hendaknya memiliki pemahaman konsep pendidikan yang komprehensif.
Sejalan dengan era informasi dalam dunia global ini, pendidikan merupakan sarana yang sangat strategis dalam melestarikan sistem nilai yang berkembang dalam kehidupan. Kondisi tersebut tidak dapat dielakkan bahwa dalam proses pendidikan tidak hanya pengetahuan dan pemahaman peserta didik yang perlu dibentuk (Drost, 2001: 11), namun sikap, perilaku dan kepribadian peserta didik perlu mendapat perhatian yang serius, mengingat perkembangan komunikasi, informasi dan kehadiran media cetak maupun elektronik tidak selalu membawa pengaruh positif bagi peserta didik. Tugas pendidik dalam konteks ini membantu mengkondisikan pesera didik pada sikap, perilaku atau kepribadian yang benar, agar mampu menjadi agents of modernization bagi dirinya sendiri, lingkungannya, masyarakat dan siapa saja yang dijumpai tanpa harus membedakan suku, agama, ras dan golongan. Pendidikan diarahkan pada upaya memanusiakan manusia, atau membantu proses hominisasi dan humanisasi, maksudnya pelaksanaan dan proses pendidikan harus mampu membantu peserta didik agar menjadi manusia yang berbudaya tinggi dan bernilai tinggi (bermoral, berwatak, bertanggungjawab dan bersosialitas). Para peserta didik perlu dibantu untuk hidup berdasarkan pada nilai moral yang benar, mempunyai watak yang baik dan bertanggungjawab terhadap aktifitas-aktifitas yang dilakukan. Dalam konteks inilah pendidikan budi pekerti sangat diperlukan dalam kehidupan peserta didik di era globalisasi ini

Fondasi Pendidikan

Pendidikan merupakan usaha sadar yang terencana, terprogram dan berkesinambungan membantu peserta didik mengembangkan kemampuannya secara optimal, baik aspek kognitif, aspek afektif maupun aspek psikomotorik. Aspek kognitif yang berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Aspek afektif berkenaan dengan sifat yang terdiri dari lima aspek yakni: penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Aspek psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak yang terdiri dari enam aspek, yaitu: gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, dan gerakan ekspresif dan interpretatif.
Pengembangan potensi peserta didik merupakan proses yang disengaja dan sistematis dalam membiasakan/mengkondisikan peserta didik agar memiliki kecakapan dan keterampilan hidup. Kecakapan dan keterampilan yang dimaksud berarti luas, baik kecakapan personal (personal skill) yang mencakup; kecakapan mengenali diri sendiri (self awareness) dan kecakapan berpikir rasional (thinking skill), kecakapan sosial (social skill), kecakapan akademik (academic skill), maupun kecakapan vokasional (vocational skill). Kegiatan pendidikan pada tahap melatih lebih mengarah pada konsep pengembangan kemampuan motorik peserta didik. Terkait dengan proses melatih ini, perlu dilakukan pembiasaan dan pengkondisian anak dalam berpikir secara kritis, strategis dan taktis dalam proses pembelajaran. Peserta dilatih memahami, merumuskan, memilih cara pemecahan dan memahami proses pemecahan “masalah”. Berangkat dari kondisi tersebut, maka budaya instant dalam pembelajaran yang selama ini dibudayakan harus ditinggalkan, menuju proses pemberdayaan seluruh unsur dalm sistem pembelajaran.
Sejalan dengan pencapaian tujuan pendidikan, perlu diupayakan suatu sistem pendidikan yang mampu membentuk kepribadian dan ketrampilan peserta didik yang unggul, yakni beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, manusia yang kreatif, cakap, terampil, jujur, dapat dipercaya, disiplin, bertanggung jawab dan memiliki solidaritas sosial yang tinggi. Untuk mewujudkan manusia yang unggul perlu diberikan landsan pendidikan yang kokoh. Bangsa kita sebenarnya telah memiliki pilar pendidikan yang sangat fundamental, yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantoro, Ing Ngarso Sun Tulodho, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani, namun implementasinya dalam pendidikan kita masih rendah. Konsep ini tidak saya bahas dalam analisis ini, namun pada tataran ini dipaparkan hasil konferensi tahunan UNESCO di Melbourne Australia tahun 1998. Dalam konferensi tersebut dicanangkan empat pilar pendidikan yang dijadikan fondasi pendidikan pada era informasi dan jaringan global ini dalam meraih dan merebut pasar internasional. Keempat pilar tersebut adalah :

Learning to Know (belajar untuk tahu)

Pada proses pembelajaran melalui penerapan paradigma ini, peserta didik akan dapat memahami dan menghayati bagaimana suatu pengetahuan dapat diperoleh dari fenomena yang terdapat dalam lingkungannya. Melalui proses pendidikan seperti ini mulai sekolah dasar s/d pendidikan tinggi, diharapkan lahir generasi yang memiliki kepercayaan bahwa manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi untuk mengelola dan mendayagunakan alam. Untuk mengkondisikan masyarakat belajar yang efektif dewasa ini, diperlukan pemahaman yang jelas tentang “apa” yang perlu diketahui, “bagaimana” mendapatkan Ilmu pengetahuan, “mengapa’ ilmu pengetahuan perlu diketahui, “untuk apa” dan “siapa” yang akan menggunaka ilmu pengetahuan itu. Belajar untuk tahu diarahkan pada peserta didik agar mereka memiliki pengetahuan fleksibel, adaptable, value added dan siap memakai bukan siap pakai.

Learning to Do (Belajar untuk melakukan)

Proses pembelajaran dengan penekanan agar peserta didik menghayati proses belajar dengan melakukan sesuatu yang bermakna ‘’Active Learning‘’. Peserta didik memperoleh kesempatan belajar dan berlatih untuk dapat menguasai dan memiliki standar kompetensi dasar yang dipersyaratkan dalam dirinya. Proses pembelajaran yang dilakukan menggali dan menemukan informasi (information searching and exploring), mengolah dan informasi dan mengambil keputusan (information processing and decision making skill), serta memecahkan masalah secara kreatif (creative problem solving skill). Menurut Dewey bahwa pembelajaran yang dapat dilakukan dengan: 1). Belajar peserta didik dengan berpikir kreatif, 2). Keterampilan proses, 3). Problem solving approach, 4). Pendekatan inkuiri, 5). Program sekolah yang harus terpadu dengan kehidupan masyarakat, dan 6). Bimbingan sebagai bagian dari mengajar. Beberapa bentuk Active Learning ; Kegiatan Active learning dilakukan dengan kegiatan mandiri, peserta didik membaca sendiri bahan yang akan dibahas di kelas. Pembahasan (diskusi) di kelas dengan diawali penugasan pembuatan artikel, melakukan problem possing, dan problem solving, Pada kegiatan pembelajaran yang aktif ini diberikan panduan awal (advance organizer) yang mengarahkan pada pembahasan materi pembelajaran, sebelum belajar mandiri dilaksanakan, sehingga memungkinkan peserta didik aktif baik secara intelektual, motorik maupun emosional. Dalam pemberian tugas, peserta didik dituntut mampu merumuskan konsep baru yang di sintesis dari materi yang telah dipelajari.

Learning to be (Belajar untuk menjadi diri sendiri)

Proses pembelajaran yang memungkinkan lahirnya manusia terdidik dengan sikap mandiri. Kemandirian belajar merupakan kunci terbentuknya rasa tanggung jawab dan kepercayaan diri untuk berkembang secara mandiri. Sikap percaya diri akan lahir dari pemahaman dan pengenalan diri secara tepat. Belajar mandiri harus didorong melalui penumbuhan motivasi diri. Banyak pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan dalam melatih kemandirian peserta didik, misalnya; pendekatan sinektik, problem soving, keterampilan proses, discovery, inquiry, kooperatif, dan sebagainya Pendekatan pembelajaran tersebut mengutamakan keterlibatan peserta didik secara efektif. Pendekatan-pendektan pembelajaran ini pada dasarnya suatu proses sosial, peserta didik dibantu dalam melakukan peran sebagai pengamat yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi. Meskipun guru dapat memberikan situasi masalah, namun dalam penerapannya, peserta didik mencari, menanyakan, memeriksa dan berusaha menemukan sendiri hal-hal yang dipelajari. Para peserta didik mulai berpikir berdasarkan kemampuan dan pengalamannya masing-masing secara logis. Strategi pembelajaran inkuiri merupakan salah satu alternatif pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Strategi pembelajaran keterampilan proses lebih menekankan pada kegiatan-kegiatan yang berpusat pada pengembangan kreativitas belajar peserta didik. Penerapan strategi pembelajaran keterampilan proses dapat membantu guru dalam menyampaikan materi pembelajaran dengan menciptakan kondisi pembelajaran yang bervariasi dalam menumbuhkan motivasi peserta didik untuk belajar lebih dalam, mendorong rasa ingin tahu lebih lanjut dan memotivasi untuk berpikir kreatif.


Learning To Live Together (Belajar untuk Hidup Bersama)

Proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menghayati hubungan antar manusia secara intensif dan terus menerus untuk menghindarkan pertentangan ras/etnis, agama, suku, keyakinan politik, dan kepentingan ekonomi. Peningkatan pendidikan nilai kemanusiaan, moral, dan agama yang melandasi hubungan antar manusia.
Pendekatan pembelajaran tidak semata-mata bersifat hafalan melainkan dengan pendekatan pembelajaran yang memungkinkan terintegrasikannya nilai-nilai kemanusiaan dalam kepribadian dan perilaku selama proses pembelajaran. Salah satu strategi pembelajaran yang dapat diterapkan adalah dengan pendekatan kooperatif-integrated.. Pembelajaran mempunyai jangkauan tidak hanya membantu peserta didik belajar isi akademik dan ketrampilan semata, namun juga melatih peserta didik dalam meraih tujuan-tujuan hubungan sosial dan kemanusiaan. Model pembelajaran ditandai dengan adanya struktur tugas yang bersifat kontekstual, struktur tujuan, dan struktur penghargaan (reward).
Untuk mewujudkan makna pendidikan dan fondasi pembelajaran tersebut diperlukan proses pembelajaran yang efektif. Keefektifan proses pembelajaran merupakan pencerminan dalam mencapai tujuan pembelajaran tepat yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Keefektifan proses pembelajaran berkenaan dengan jalan, upaya, teknik dan strategi yang digunakan dalam mencapai tujuan pembelajaran secara optimal, tepat dan cepat (Nana Sudjana, 1996 : 52). Sekolah tidak hanya berkewajiban untuk memelihara nilai-nilai masyarakat, namun juga harus memberikan keaktifan kepada peserta didik dan secara kritis dalam menghadapi masalah-masalah sosial, dan harus mengadakan usaha pemecahan masalah.
Salah satu faktor yang mempengaruhi keefektifan pembelajaran antara lain kemampuan guru dalam menggunakan strategi. Penerapan strategi pembelajaran dipengaruhi oleh faktor tujuan, peserta didik, situasi, fasilitas dan pembelajaran itu sendiri. Dengan menerapkan metode yang tepat, proses pembelajaran akan berlangsung lebih efektif sehingga hasil pembelajaran akan lebih baik dan mantap. Salah satu startegi pembelajaran yang memberikan perhatian pengembangan potensi peserta didik adalah strategi keterampilan proses (proses pemecahan masalah).
Upaya mengembangkan disiplin intelektual dan ketrampilan yang dibutuhkan peserta didik untuk membantu memecahkan masalah dalam kehidupannya dengan memberikan pertanyaan dan kasus yang memperoleh jawaban atas dasar rasa ingin tahu. Keterlibatan aktif peserta didik secara mental dalam kegiatan pembelajaran akan membawa dirinya kepada kegiatan belajar yang bermakna. Secara kooperatif akan memperkaya cara berpikir peserta didik dan menolong mereka belajar tentang hakekat timbulnya pengetahuan yang tentatif dan berusaha menghargai penjelasan.

Pergeseran Paradigma Pendidikan

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi sangat menuntut hadirnya perubahan paradigma pendidikan yang berorientasi pada pasar dan kebutuhan hidup masyarakat. Sayling Wen dalam bukunya “future of education” menyebutkan beberapa pergeseran paradigma pendidikan, antara lain:

1. Pendidikan yang berorientasi pada pengetahuan bergeser menjadi pengembangan ke segala potensi yang seimbang.
Pada pendidikan orientasi pendidikan lebih menekankan pada pemindahan informasi yang dimiliki kepada peserta didik (bersifat kognitif). Proses pembelajaran yang berkembang di negara kita dapat deskripsikan sebagai berikut: peran guru sangat dominan dalam proses pembelajaran, kesan yang muncul adalah guru mengajar peserta didik diajar, guru aktif peserta didik pasif, guru pinter peserta didik minder, guru berkuasa, peserta didik dikuasai. Dalam kegiatannya pendidik berusaha memola anak didik sesuai dengan kehendaknya. Program pembelajaran, materi, media, metode dan evaluasi yang diterapkan sepenuhnya disiapkan oleh pendidik. Mulai tahun pelajaran 2004/2005 Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) mulai diterapkan, implementasi KBK diharapkan dapat mengembangkan seluruh potensi yang menjadi sasaran pendidikan secara optimal. Mengingat KBK mengandung prinsip pembelajaran yang menerapkan pendekatan, antara lain: 1) student centered, 2) Integrated learning, 3) individual learning, 4) mastery learning, 5) problem solving, 6) Experince based learning, dan 7) peran guru sebagai fasilitator, pembimbing, konsultan dan sekaligus mitra belajar. Meskipun dalam pelaksanaannya, KBK masih ditemukan banyak kelemahan-kelemahan.

2. Dari keseragaman pembelajaran bersama yang sentralistik menjadi keberagaman yang terdesentralisasi dan terindividulisasikan. Hal ini seiring dengan berkembangnya teknologi informasi dimana informasi dapat diakses secara mudah melalui brbagai macam media pembelajaran secara mandiri, misalnya; internet, multimedia pembelajaran, dsb.

3. Pembelajaran dengan model penjenjangan yang terbatas menjadi pembelajaran seumur hidup. Belajar tidak hanya terbatas pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi, namun belajar dapat dilakukan sepanjang hayat, yang tidak terbatas pada tempat, usia, waktu, dan fasilitas.

4. Dari pengakuan gelar kearah pengakuan kekuatan-kekuatan nyata (profesionalisme)
Dilihat dari kualitas pendidik, secara kuantitatif jenjang pendidikan yang dimiliki guru-guru SD, SLTP, SMU/SMK cukup menjanjikan, Sebagian besar sarjana atau D2. Hal ini ditunjukkan dengan gelar yang dimiliki pada pendidik, namun secara kualitas, sungguh memprihatinkan. Secara kualitatif bisa dilihat, motivasi belajar dan motivasi berprestasi dalam meningkatkan profesionalisme di kalangan pendidik sangat rendah. Sebagian besar guru malas belajar, malas mencari pengetahuan baru, dan berkarya (baca: tekun membaca, mengikuti pelatihan, menulis karya ilmiah). Pola pikir yang berkembang pada pendidik saat ini lebih loyal pada integrasi gaji dari pada loyalitas profesional, dengan nafsu mengejar pangkat, golongan, posisi dan tunjangan. Di antara pendidik ada yang melanjutkan kuliahnya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (S1, S2 dan S3), bukan untuk meningkatkan kualitas diri dan profesi, namun demi “gengsi, posisi dan gaji”, kesempatan kuliah yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas diri dan profesi secara mandiri mulai menghilang. Kondisi demikian sungguh memprihatinkan. Namun seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan persaingan global, kompetensi dan profesionalisme akan menjadi tolok ukur keberhasilan seseorang dalam memenang persaingan hidup. Prestasi kerja menempatkan seseorang pada posisi kerja yang sesungguhnya (“saat ini muncul image posisi kerja adalah uang”)

5. Pembelajaran yang berbasis pada pencapaian target kurikulum bergeser menjadi pembelajaran yang berbasis pada kompetensi dan produksi. Pencapaian target kurikulum bukan satu-satunya indikator keberhasilan proses pendidikan, keberhasil pendidikan hendaknya di lihat dari konteks, input, proses, output dan outcomes, sehingga keberhasilan pendidikan dapat dimaknai secara komprehensif. Masih banyak lembaga pendidikan kita yang masih menekankan pada pencapaian target kurikulum, contoh dilapangan: kita lihat kurikulum pendidikan dasar, pada jenjang pendidikan dasar (masa kanak-kanak dan SD) merupakan jenjang pendidikan yang menyenangkan (masa bermain), coba kita lihat setelah anak mulai masuk di TK atau di SD kesempatan bermain bagi anak sangat dibatasi. Sistem pembelajaran yang diterapkan membatasi gerak anak dengan dinding dan keangkuhan guru yang sangat kokoh di depan kelas. Anak-anak mulai dipola sekehendak gurunya yang dengan dalih agar sesuai dengan kurikulum yang telah dirumuskan oleh pejabat pendidikan, meskipun dengan menerapkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK). peserta didik SD yang seharusnya masih menggunakan konsep pendidikan bermain sambil belajar. Dengan, namun mulai menghilang, yang muncul belajar sambil bermain. Sehingga anak-anak SD kurang mengenal nama-nama benda, tumbuhan, binatang yang ada disekitarnya.

Kondisi ini wajar, karena beban pelajaran yang dipersyaratkan dalam kurikulum yang harus ditanggung peserta didik di SD begitu berat (9 mata pelajaran), belum lagi masih banyaknya pekerjaan rumah (PR) yang sebagian besar bersifat menghafal (mengkhayal) hal-hal yang terpisah dari kemampuan dan tuntutan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sejak masa kanak-kanak para peserta didik telah dikondisikan dengan pencapaian target kuantitif yang sangat berat. Untuk mengurangi jumlah pengkhayal dalam pendidikan, sebaiknya pada jenjang pendidikan dasar mulai dipikirkan menerapkan kurikulum dasar yang berbasis pada mata pelajaran Matematika, bahasa, sains, jasmani dengan memperhatikan pemberdayaan sistem nilai yang berkembang di daerahnya. Proses pembelajaran yang dilakukan dengan pendekatan kontektual.

6. Pendidikan sebagai investasi manusia dengan hight cost, yang dapat dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah ke atas, khususnya pendidikan tinggi.

Strategi Pengembangan Pendidikan Di Era Global

Untuk membekali terjadinya pergeseran orientasi pendidikan di era global dalam mewujudkan kualitas sumber daya manusia yang unggul, diperlukan strategi pengembangan pendidikan, antara lain:

1. Mengedepankan model perencanaan pendidikan (partisipatif) yang berdasarkan pada need assessment dan karakteristik masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pendidikan merupakan tuntutan yang harus dipenuhi.
2. Peran pemerintah bukan sebagai penggerak, penentu dan penguasa dalam pendidikan, namun pemerintah hendaknya berperan sebagai katalisator, fasilitator dan pemberdaya masyarakat.
3. Penguatan fokus pendidikan, yaitu fokus pendidikan diarahkan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat, kebutuhan stakeholders, kebutuhan pasar dan tuntutan teman saing.
4. Pemanfaatan sumber luar (out sourcing), memanfaatkan berbagai potensi sumber daya (belajar) yang ada, lembaga-lembaga pendidikan yang ada, pranata-pranata kemasyarakatan, perusahaan/industri, dan lembaga lain yang sangat peduli pada pendidikan.
5. Memperkuat kolaborasi dan jaringan kemitraan dengan berbagai pihak, baik dari instansi pemerintah mapun non pemerintah, bahkan baik dari lembaga di dalam negeri maupun dari luar negeri.
6. Menciptakan soft image pada masyarakat sebagai masyarakat yang gemar belajar, sebagai masyarakat belajar seumur hidup.
7. Pemanfaatan teknologi informasi, yaitu: lembaga-lembaga pendidikan baik jalur pendidikan formal, informal maupun jalur non formal dapat memanfaatkan teknologi informasi dalam mengakses informasi dalam mengembangkan potensi diri dan lingkungannya (misal; penggunaan internet, multi media pembelajaran, sistem informasi terpadu, dsb)

Daftar Pustaka

Depdiknas, 2002. Pedoman Pengembangan Pembekalan Kecakapan Hidup di SMU. Jakarta: Depdiknas
Drost, J.I.G.M.S.J. 2001. Sekolah Mengajar atau Mendidik. Yogyakarta: Kanisius
Muslimin, et al. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya:Unesa-University Press.
Nana Sudjana. 1996. Model-Model Mengajar CBSA. Bandung: Sinar Baru
Silberman, M. 1996. Active Learning : 101 Strategi to Teach Any Subject. Boston: Allyn and Bacon


*) Sujarwo, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Luar Sekolah FIP Universitas Negeri Yogyakarta
Alamat: Ngegoh, Alastuwo, Kebakkramat, Karanganyar, Solo Jawa Tengah/ Pembina UKM Penelitian UNY
E-mai : sujarwopls@yahoo.co.id

Karya Terbaru: Pembelajaran Kreatif kritis dalam perpektif Global.
Pemberdayaan anak jalanan melalui pembelajaran Tematik

Selasa, 03 November 2009

PERANAN PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP KECERDASAN MANUSIA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Pendidikan Islam
Pendidikan Islam memiliki 3 (tiga) tahapan kegiatan, yaitu: tilawah (membacakan ayat Allah), tazkiyah (mensucikan jiwa) dan ta’limul kitab wa sunnah (mengajarkan al kitab dan al hikmah). Pendidikan dapat merubah masyarakat jahiliyah menjadi umat terbaik disebabkan pendidikan mempunyai kelebihan. Pendidikan mempunyai ciri pembentukan pemahaman Islam yang utuh dan menyeluruh, pemeliharaan apa yang telah dipelajarinya, pengembangan atas ilmu yang diperolehnya dan agar tetap pada rel syariah. Hasil dari pendidikan Islam akan membentuk jiwa yang tenang, akal yang cerdas dan fisik yang kuat serta banyak beramal.
Pendidikan Islam berpadu dalam pendidikan ruhiyah, fikriyah (pemahaman/pemikiran) dan amaliyah (aktivitas). Nilai Islam ditanamkan dalam individu membutuhkan tahpan-tahapan selanjutnya dikembangkan kepada pemberdayaan di segala sektor kehidupan manusia. Potensi yang dikembangkan kemudian diarahkan kepada pengaktualan potensi dengan memasuki berbagai bidang kehidupan. (QS. Ali Imran (3) : 103)
Pendidikan yang diajarkan Allah SWT melalui Rasul-Nya bersumber kepada Al Qur’an sebagai rujukan dan pendekatan agar dengan tarbiyah akan membentuk masyarakat yang sadar dan menjadikan Allah sebagai Ilah saja.
Kehidupan mereka akan selamat di dunia dan akhirat. Hasil ilmu yang diperolehnya adalah kenikmatan yang besar, yaitu berupa pengetahuan, harga diri, kekuatan dan persatuan.
Tujuan utama dalam pendidikan Islam adalah agar manusia memiliki gambaran tentang Islam yang jelas, utuh dan menyeluruh.
Interaksi di dalam diri ini memberi pengaruh kepada penampilan, sikap, tingkah laku dan amalnya sehingga menghasilkan akhlaq yang baik. Akhlaq ini perlu dan harus dilatih melalui latihan membaca dan mengkaji Al Qur’an, sholat malam, shoum (puasa) sunnah, berhubungan kepada keluarga dan masyarakat. Semakin sering ia melakukan latihan, maka semakin banyak amalnya dan semakin mudah ia melakukan kebajikan. Selain itu latihan akan menghantarkan dirinya
B. Kecerdasan Emosi
Kecerdasan berasal dari kata cerdas yang secara harfiah berarti sempurana perkembangan akal budinya, pandai dan tajam pikirannya. Selain itu cerdas dapat pula berarti sempurna pertumbuhan tubuhnya seperti sehat dan kuat fisiknya. Sedangkan kata emosional berasal dari bahasa inggris, emotion yang berarti keibaan hati, suara yang mengandung emosi, pembelaan yang mengharukan, pembelaan yang penuh perasaan. Dalam pengertian yang umumnya digunakan, emosi sering diartiakan dorongan yang amat kuat dan cenderung mengarah kepada hal-hal yang kurang terpuji, seprti halnya emosi yang ada pada para remaja yang sedang goncang. Dalam perkembangan selanjutnya kecerdasan emosional (emotional intlegence) mengalami perkembangan baru dan secara umum menggambarkan sebagai potensi psikologis yang bersifat positif dan perlu dikembangkan. Daniel goleman misalnya mengataka bahwa kecerdasan emosional mengandung beberapa pengertian. Pertama kecerdasan emosi tidak hanya berarti sikap ramah. Pada saat tertentu yang diperlakukan mungkin bukan sikap ramah, melainkan misalnya sikap tegas yang barangkali memang tidak menyenangkan tetapi mengungkapkan kebenaran yang selama ini dihindari. Kedua kecerdasan emosi bukan berarti memberikan kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa memanjakan perasaan, melainkan mengelola perasaan sedemikian sehingga tereksperesikan secara tepat dan efektif, yang memungkinkan orang bekerjasama dengan lancar menuju sasaran bersama.
Kecerdasan emosional lebih lanjut diartikan kepiawaian, kepandaian dan ketepatan seseorang dalam mengelola diri sendiri dalam berhubungan dengan orang lain di sekeliling mereka dengan menggunakan seluruh potensi psikologis yang dimilikinya seperti inisiatif dan empati, komunikasi kerjasama dan kemampuan persuasi yang secara keseluruahan telah mempribadikan pada diri seseorang.
Kecerdasan Emosi atau Emotional Quotation (EQ) meliputi kemampuan mengungkapkan perasaan, kesadaran serta pemahaman tentang emosi dan kemampuan untuk mengatur dan mengendalikannya.
Kecerdasan emosi dapat juga diartikan sebagai kemampuan Mental yang membantu kita mengendalikan dan memahami perasaan-perasaan kita dan orang lain yang menuntun kepada kemampuan untuk mengatur perasaan-perasaan tersebut.
Banyak contoh diskitar kita membuktikan bahwa orang yang memiliki gelar tinggi belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan. Seringkali mereka yang berpendidikan formal lebih rendah ternyata lebih berhasil di dunia pekerjaan.
Selama ini banyak berkembang dalam masyarakat kita sebuah pandangan stereotip, dikotomisasi antara kepentingan dunia dan akhirat. Mereka yang memilih di jalan vertical cenderung berpikir bahwa kesuksesan dunia justru adalah sesuatu yang bias dinisbihkanatau sesuatu yang bias demikian mudahnya dimarginalkan. Hasilnya, mereka unggul dari kekhusuan zikir dan kekhidmatan berkomplementasi.
Jadi orang yang cerdas secara emosi bukan hanya memiliki emosi atau perasaan-perasaan, tetapi juga memahami apa artinya. Dapat melihat diri sendiri seperti orang lain melihat kita, mampu memahami orang lain seolah-olah apa yang dirasakan orang itu kita rasakan juga.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Antara IQ dan EQ
Kecerdasan akademis sedikit kaitannya dengan kehidupan emosional. Orang dengan IQ tinggi dapat terperosok ke dalam nafsu yang tak terkendali dan impuls yang meledak-ledak; orang dengan IQ tinggi dapat menjadi pilot yang tak cakap dalam kehidupan pribadi mereka. Terdapat pemikiran bahwa IQ menyumbang paling banyak 20 % bagi sukses dalam hidup, sedangkan 80 % ditentukan oleh faktor lain.
Kecerdasan akademis praktis tidak menawarkan persiapan untuk menghadapi gejolak atau kesempatan yang ditimbulkan oleh kesulitan-kesulitan hidup. IQ yang tinggi tidak menjamin kesejahteraan, gengsi, atau kebahagiaan hidup
Banyak bukti memperlihatkan bahwa orang yang secara emosional cakap yang mengetahui dan menangani perasaan mereka sendiri dengan baik, dan yang mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif memiliki keuntungan dalam setiap bidang kehidupan, entah itu dalam hubungan asmara dan persahabatan, ataupun dalam menangkap aturan-aturan tak tertulis yang menentukan keberhasilan dalam politik organisasi.
Orang dengan ketrampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka. Orang yang tidak dapat menghimpun kendali tertentu atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merampas kemampuan mereka untuk berkonsentrasi pada karir/pekerjaan ataupun untuk memiliki pikiran yang jernih.
Tingkat IQ atau kecerdasan intelektual seseorang umumnya tetap, sedang EQ (kecerdasan emosi dapat terus ditingkatkan. Itu didukung oleh pendapat seorang pakar EQ, Daniel Goleman sebagai berikut: dalam hal peningkatan inilah kecerdasan emosi sangat berbeda dengan IQ yang umumnya hampir tidak berubah. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan merasakan, memahami secara efektif, menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh manusi. Emosi adalah bahan baker yang tidak tergantikan bagi otak agar mampu melakukan penalaran yang tidak tergantikan bagi otak melakukan penalaran tinggi.

B. Survey Membuktikan ….
Survei terhadap orangtua dan guru-guru memperlihatkan adanya kecenderungan yang sama di seluruh dunia, yaitu generasi sekarang, lebih banyak mengalami kesulitan emosional daripada generasi sebelumnya : lebih kesepian dan pemurung, lebih berangasan dan kurang menghargai sopan santun, lebih gugup dan mudah cemas, lebih impulsif dan agresif.
Kemerosotan emosi tampak dalam semakin parahnya masalah spesifik berikut :
• Menarik diri dari pergaulan atau masalah sosial; lebih suka menyendiri, bersikap sembunyi-sembunyi, banyak bermuram durja, kurang bersemangat, merasa tidak bahagia, terlampau bergantung.
• Cemas dan depresi, menyendiri, sering takut dan cemas, ingin sempurna, merasa tidak dicintai, merasa gugup atau sedih dan depresi.
• Memiliki masalah dalam hal perhatian atau berpikir ; tidak mampu memusatkan perhatian atau duduk tenang, melamun, bertindak tanpa bepikir, bersikap terlalu tegang untuk berkonsentrasi, sering mendapat nilai buruk di sekolah, tidak mampu membuat pikiran jadi tenang.
• Nakal atau agresif; bergaul dengan anak-anak yang bermasalah, bohong dan menipu, sering bertengkar, bersikap kasar terhadap orang lain, menuntut perhatian, merusak milik orang lain, membandel di sekolah dan di rumah, keras kepala dan suasana hatinya sering berubah-ubah, terlalu banyak bicara, sering mengolok-olok , bertemperamen panas.
Penelitian jangka panjang terhadap 95 mahasiswa Harvard dari angkatan tahun 1940 an menunjukkan bahwa dalam usia setengah baya, mereka yang peroleh tesnya paling tinggi di perguruan tinggi tidaklah terlampau sukses dibandingkan rekan-rekannya yang IQ nya lebih rendah bila diukur menurut gaji, produktivitas, atau status di bidang pekerjaan mereka.
Mereka juga bukan yang paling banyak mendapatkan kepuasan hidup, dan juga bukan yang paling bahagia dalam hubungan persahabatan, keluarga, dan asrmara.
C. Pendidikaan Islam Dan EQ
Dalam islam, hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan emosi dan spiritual seperti konsistensi (istiqomah), kerendahan hati (Tawadhu), berusaha dan berserah diri ( tawakal), ketulusan (keikhlasan), totalitas(kaffah), kesaeimbangan(tawazun), integritas dan penyempurnaan(ihsan) itu dinamakan akhlaqul qarimah. Dalam kecerdasan emosi, hal-hal yang sudah di disebutkan tiu dijadika sebaga tolok ukur kecerdasan emosi/EQ. oleh Karena itu kecerdasan emosi sebenarnya adalah akhlak dalam agama islam yang di ajarkan oleh Rasulullah SAW. Sehingga ketika kita belajar agama islam sebenarnya kita telah menumbuhkan kecerdasan Emosi kita sendiri.
Banyak contoh diskitar kita membuktikan bahwa orang yang memiliki gelar tinggi belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan. Seringkali mereka yang berpendidikan formal lebih rendah ternyata lebih berhasil di dunia pekerjaan.
Selama ini banyak berkembang dalam masyarakat kita sebuah pandangan stereotip, dikotomisasi antara kepentingan dunia dan akhirat. Mereka yang memilih di jalan vertical cenderung berpikir bahwa kesuksesan dunia justru adalah sesuatu yang bias dinisbihkanatau sesuatu yang bias demikian mudahnya dimarginalkan. Hasilnya, mereka unggul dari kekhusuan zikir dan kekhidmatan berkomplementasi.
Dalam pendidikan islam berbagi ciri yang menandai kecerdasan emosional tersebut terdapat pada pendidiakn akhlak . para pakar pendidikan islam dengan berbagai ungkapan pada umumnya sepakat bahwa tujuan pendidikan islam dengan berbagi ungkapan pada umumnya sepakat bahwa tujuan pendidian islam adalah membina pribadi yang berakhlak. Ahmad. D marimba mengatakan bahwa pendidiakn islam adalah bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran islam.
Pendidikan islam juga merupakan proses bimbingan (pimpinan, tuntutan, usulan) oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa(pikirsn , perasaan dan kemauan, intuisi dan sebagainya) dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada kearah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran islam. Sementara itu pendidka islam adalah manusia seutuhnya: akal dan hatinya;rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya.
Untuk itu pendidikan islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkan untu menhadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejaatannya, manis dan pahitnya.
Berbagi pakar memperlihatkan bahwa pendidkna islam disamping berupaya untuk membina kecerdasan intelektual, keterampilan dan raganya, juga membina jiwa dan hati nuraninya. Pembinaan intelektual dangan cara memberikan mata pelajaran yang berkaitan dengan akal pikiran sedangkan pembinaan jiwa dan hati nuraninya dilakukan dengan membersihkan hati nuraninya dari penyakit seperti sombong, tinggi hat, iri hati dan sebagainya.











BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan, dapat disimpulkan bahwa pembinaan kecerdasan emosional merupakan bagian dalam potensi yang dimiliki manusia harus dilakukan oleh dunia pendidikan, sehingga para lulusan pendidikan dapat meraih kesuksesan dalam hidupnya. Pembinaan kecerdasan emosional tersebut sejalan dengan tujuan pendidiakn islam yang pada intinya membentuk manusia yang berakhlak, yaitu manusia yang dapat berhubungan, berkomunikasi, beradaptasi, bekerjasama dan seterusnya, baik dengan Alloh swt, dengan manusia dengan alam dan sekalian makhluk tuhan lainnya.
B. Saran

DASAR-DASAR KEPENDIDIKAN MIPA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu Pengetahuan Alam, biasa disingkat IPA, adalah sebuah mata pelajaan yang mempelajari lmu alam untuk siswa sekolah dasar (SD), dan sekolah menengah tingkat pertama (SMP/SLTP). Namun berbeda pada istilah yang terdapat di sekolah menengah tingkat atas (SMA/SMU) dan perguruan tinggi, kata IPA lebih dikenal sebagai salah satu penjurusan kelas yang secara khusus lebih memfokuskan untuk membahas ilmu-ilmu eksakta. Dalam ilmu pengetahuan, istilah ilmu pengetahuan alam merujuk kepada pendekatan logis untuk mempelajari alam semesta. Ilmu pengetahuan alam mempelajari alam dengan menggunakan metode-metode sains. Ilmu Pengetahuan Sosial yang menggunakan metode sains untuk mempelajari perilaku manusia dan masyarakat, ataupun ilmu pengetahuan formal seperti matematika.
Ilmu Pengetahuan Alam atau Sains (science) diambil dari kata latin yaitu Scientia yang arti harfiahnya adalah pengetahuan, tetapi kemudian berkembang menjadi khusus Ilmu Pengetahuan Alam atau Sains. Sund dan Trowbribge merumuskan bahwa Sains merupakan kumpulan pengetahuan dan proses. Sedangkan Kuslan Stone menyebutkan bahwa Sains adalah kumpulan pengetahuan dan cara-cara untuk mendapatkan dan mempergunakan pengetahuan itu. Sains merupakan produk dan proses yang tidak dapat dipisahkan. "Real Science is both product and process, inseparably Joint".
Sains sebagai proses merupakan langkah-langkah yang ditempuh para ilmuwan untuk melakukan penyelidikan dalam rangka mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam. Langkah tersebut adalah merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis dan akhimya menyimpulkan. Dari sini tampak bahwa karakteristik yang mendasar dari Sains ialah kuantifikasi artinya gejala alam dapat berbentuk kuantitas.
Ilmu berkembang dengan pesat, yang pada dasarnya ilmu berkembang dari dua cabang utama yaitu filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam (the natural sciences) dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke dalam ilmu-ilmu sosial (the social sciences). Ilmu-ilmu alam membagi menjadi dua kelompok yaitu ilmu alam (the physical sciences) dan ilmu hayat (the biological sciences). Ilmu alam ialah ilmu yang mempelajari zat yang membentuk alam semesta sedangkan ilmu hayat mempelajari makhluk hidup didalamnya. Ilmu alam kemudian bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari massa dan energi), kimia (mempelajari substansi zat), astronomi (mempelajari benda-benda langit dan ilmu bumi), (the earth sciences) yang mempelajari bumi kita.

B. RUMUSAN MASALAH
Pendidikan memiliki tujuan yang sebenarnya, yaitu menciptakan atau mengubah manusia menuju yang lebih baik. Seperti yang kita ketahui, bahwa pendidikan itu bermacam-macam. Ada yang khusus mempelajari ilmu sosial dan ada yang mempelajari ilmu alam atau yang biasa dikenal dengan ilmu pasti (MIPA). Jadi Apa Hakikat Ilmu Alam (MIPA) Sebenarnya?

C. TUJUAN
Setiap tindakan yang kita lakukan pasti ada alasan dan tujuannya. Seperti pada pembahasan masalah pendidikan MPA ini. Salah satu tujuannya yaitu bagaimana kita mengenal lebih dekat tentang ilmu Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA). Kemudian hakikat kita melakukan pembelajaran MIPA.








BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Pembelajan IPA
Pada dasarnya manusia ingin tahu lebih banyak tentang IPA atau Sains, antara lain sifat sains, model sains, dan filsafat sains. Pada saat setiap orang mengakui pentingnya sains dipelajari dan dipahami, tidak semua masyarakat mendukung. Pada umumnya siswa merasa bahwa sains sulit, dan untuk mempelajari sains harus mempunyai kemampuan memadai seperti bila akan menjadi seorang ilmuan. Ada tiga alasan perlunya memahami sains antara lain, pertama bahwa kita membutuhkan lebih banyak ilmuan yang baik, kedua untuk mendapatkan penghasilan, ketiga karena tiap kurikulum menuntut untuk mempelajari sains. Mendefinisikan sains secara sederhana, singkat dan yang dapat diterima secara universal sangat sulit dibandingkan dengan mendefinisikan ilmu-ilmu lain.
Beberapa ilmuwan memberikan definisi sains sesuai dengan pengamatan dan pemahamannya. Carin mendefinisikan science sebagai The activity of questioning and exploring the universe and finding and expressing it’s hidden order, yaitu “Suatu kegiatan berupa pertanyaan dan penyelidikan alam semesta dan penemuan dan pengungkapan serangkaian rahasia alam”. Sains mengandung makna pengajuan pertanyaan, pencarian jawaban, pemahaman jawaban, penyempurnaan jawaban baik tentang gejala maupun karakteristik alam sekitar melalui cara-cara sistematis. Belajar sains tidak sekedar belajar informasi sains tentang fakta, konsep, prinsip, hukum dalam wujud pengetahuan deklaratif, akan tetapi belajar sains juga belajar tentang cara memperoleh informasi sains, cara sains dan teknologi bekerja dalam bentuk pengetahuan prosedural, termasuk kebiasaan bekerja ilmiah dengan metode ilmiah dan sikap ilmiah.
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa sains selain sebagai produk juga sebagai proses tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pernyataan di atas selaras dengan pendapat Carin yang menyatakan bahwa sains sebagai produk atau isi mencakup fakta, konsep, prinsip, hukum-hukum dan teori sains. Fakta merupakan kegiatan-kegiatan empiris didalam sains dan konsep, prinsip, hukum-hukum, teori merupakan kegiatan-kegiatan analisis didalam sains. Sebagai proses sains dipandang sebagai kerja atau sesuatu yang harus dilakukan dan diteliti yang dikenal dengan proses ilmiah atau metode ilmiah, melalui keterampilan menemukan antara lain, mengamati, mengklasifikasi, mengukur, menggunakan keterampilan spesial, mengkomunikasikan, memprediksi, menduga, mendefinisikan secara operasional, merumuskan hipotesis, menginterprestasikan data, mengontrol variabel, melakukan eksperimen. Sebagai sikap sains dipandang sebagai sikap ilmiah yang mencakup rasa ingin tahu, berusaha untuk membuktikan menjadi skeptis, menerima perbedaan, bersikap kooperatif, menerima kegagalan sebagai suatu hal yang positif.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya sains terdiri atas tiga komponen, yaitu produk, proses, dan sikap ilmiah. Jadi tidak hanya terdiri atas kumpulan pengetahuan atau fakta yang dihafal, namun juga merupakan kegiatan atau proses aktif menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam.
Mata pelajaran fisika adalah salah satu mata pelajaran sains yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir analitis deduktif dengan menggunakan berbagai peristiwa alam dan penyelesaian masalah baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif dengan menggunakan matematika serta dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap percaya diri. Melalui pelajaran fisika diharapkan para siswa memperoleh pengalaman dalam membentuk kemampuan untuk bernalar deduktif kuantitatif matematis berdasar pada analisis kualitatif dengan menggunakan berbagai konsep dan prinsip fisika.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan dalam pembelajaran fisika untuk meneliti masalah-masalah harus melalui kerja ilmiah, yang disebut metode ilmiah yaitu: merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang dan melaksanakan ekperimen, menganalisis data pengamatan, serta menarik simpulan. Ilmu Pengetahuan Alam (sains) merupakan hasil kegiatan manusia berupa pengetahuan, gagasan, dan konsep yang terorganisir, tentang alam sekitar yang diperoleh dari pengalaman melalui serangkaian proses ilmiah.



Hakekat Sains dan Pembelajaran Sains
Ilmu pengetahuan alam (IPA) atau Sains dalam arti sempit telah dijelaskan diatas merupakan disiplin ilmu yang terdiri dari physical sciences (ilmu fisik), dan life sciences (ilmu biologi). Yang termasuk physical sciences adalah ilmu-ilmu, astronomi, kimia, geologi, mineralogy, eteorologi, dan fisika. sedangkan life science meliputi astronomi, fisiologi, zoology, citologi, embriologi, mikrobiologi.
IPA (Sains) berupaya membangkitkan minat manusia agar mau meningkatkan kecerdasan dan pemahamannya tentang alam seisinya yang penuh dengan rahasia yang tidak habis-habisnya. Dengan tersingkapnya tabir rahasia alam itu satu persatu, serta mengalirnya informasi yang dihasilkannya, jangkauan sains semakin luas dan lahirlah sifat terapannya, yaitu tekhnologi adalah lebar. Namun dari waktu jarak tersebut semakin lama semakin sempit, sehingga semboyan " Sains hari ini adalah tekhnologi hari esok" merupakan semboyan yang berkali-kali dibuktikan oleh sejarah. Bahkan kini Sains dan teknologi manunggal menjadi budaya ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang saling mengisi (komplementer), ibarat mata uang, yaitu satu sisinya mengandung hakikat Sains (the nature of Science) dan sisi yang lainnya mengandung makna teknologi (the meaning of technology).
IPA membahas tentang gejala-gejala alam yang disusun secara sistematis yang didasarkan pada hasil percobaan dan pengamatan yang dilakukan oleh manusia. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Powler bahwa IPA merupakan ilmu yang berhubungan dengan gejala-gejala alam dan kebendaan yang sistematis yang tersusun secara teratur, berlaku umum yang berupa kumpulan dari hasil obervasi dan eksperimen.
Dari uraian di atas Sains adalah ilmu pengetahuan yang mempunyai Obyek, menggunakan metode Ilmiah sehingga perlu diajarkan di Sekolah Dasar. Setiap guru harus paham akan alasan mengapa sains perlu diajarkan di sekolah dasar. Ada berbagai alasan yang menyebabkan satu mata pelajaran itu dimasuk ke dalam kurikulum suatu sekolah. Usman Samatowa menegemukakan empat alasan sains dimasukan dikurikulum yaitu:
a. Bahwa sains berfaedah Bagi suatu bangsa, kiranya tidak perlu dipersoalkan panjang lebar. Kesejahteraan materil suatu bangsa banyak sekali tergantung pada kemampuan bangsa itu dalam bidang sains, sebab sains merupakan dasar teknologi, sering disebut-sebut sebagai tulang punggung pembangunan. Pengetahuan dasar untuk teknologi ialah sains. Orang tidak menjadi Insinyur elektronika yang baik, atau dokter yang baik, tanpa dasar yang cukup luas mengenai berbagai gejala alam.
b. Bila diajarkan sains menurut cara yang tepat, maka sains merupakan suatu mata pelajaran yang memberikan kesempatan berpikir kritis; misalnya sains diajarkan dengan mengikuti metode "menemukan sendiri". Dengan ini anak dihadapkan pada suatu masalah; umpamanya dapat dikemukakan suatu masalah demikian". Dapatkah tumbuhan hidup tanpa daun?" Anak diminta untuk mencari dan menyelidiki hal ini.
c. Bila sains diajarkan melalui percobaan -percobaan yang dilakukan sendiri oleh anak. maka sains tidaklah merupakan mata pelajaran yang bersifat hafalan belaka.
d. Mata pelajaran ini mempunyai: nilai – nilai pendidikan yaitu mempunyai potensi yang dapat membentuk keprbadian anak secara keseluruhan.
Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) IPA di SD/MI merupakan standar minimum yang secara nasional harus dicapai oleh peserta didik dan menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum disetiap satuan pendidikan. Pencapaian SK dan KD didasarkan pada pemberdayaan peserta didik untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru.

B. Metode Pembelajaran MIPA
MIPA dikenal sebagai suatu bidang yang harus dipelajari di sekolah. Memang disadari kalau MIPA sangat penting bagi kehidupan sehari-hari. Kemajuan MIPA akan berdampak bagi kemajuan transformasi masyarakat yang juga berhubungan dengan ekonomi dan sosial suatu bangsa. Namun kenyataannya, belajar MIPA sebagai sesuatu yang membosankan. Bikin pusing karena harus menghafal rumus-rumus yang panjang sedangkan belum tahu gunanya untuk apa.
Memang, kegiatan pembelajaran MIPA beberapa daerah (bahkan beberapa negara) hanya mengajarkan asumsi-asumsi saja yang akhirnya melahirkan siswa yang tidak memiliki pemahaman dan pengertian tentang manfaat MIPA bagi kehidupannya. Siswa hanya menghafal rumus, istilah-istilah tanpa tahu guna dan aplikasinya di lingkungannya. Ruang belajar pun menjadi sempit karena hanya pada ruang kelas saja. Sehingga perlu ada sebuah pembelajaran MIPA berbasis budaya dimana siswa didorong untuk dapat memecahkan masalah yang ada di lingkungan sekitarnya, sebagai titik awal proses penciptaan makna.
Vygotsky dalam teori kontruktivismenya menjelaskan perlu adanya peran budaya dan masyarakat sebagai pengalaman awal proses belajar. Selanjutnya, Vygotsky juga menjelaskan penciptaan makna hanya akan terjadi melalui negosiasi makna antara siswa dengan guru dan siswa yang lain yang disebut dengan interaksi. Dengan demikian pembelajaran MIPA berdasarkan budaya memerlukan interaksi aktif dari siswa dan guru dengan berbagai sumber belajar dalam suatu komunitas budaya.
Akhirnya pembelajaran MIPA berdasarkan budaya mensyaratkan adanya perubahan tradisi pembelajaran yang semula hanya dilakukan dengan satu metode saja yaitu DECAPA (Dengar, Catat, Hafal) menjadi tradisi mengeksplorasi berbagai sumber belajar dalam suatu komunitas budaya. Bisa saja misalnya belajar MIPA sambil memasak, atau belajar MIPA dengan menggunakan metode permainan anak-anak, atau mungkin dengan musik. Bergantung dengan konteks dan keberagaman sumber belajar yang ada. Konsep penilaian hasil belajar pembelajaran MIPA berdasarkan budaya adalah multiple representations yang berarti hasil belajar siswa dinilai melalui beragam tekhnik dan alat ukur, siswa pun mengekspresikan keberhasilannya dalam berbagai bentuk. Misalnya, banyak siswa yang takut menghadapi tes, tetapi sangat baik dalam mengarang atau menulis prosa, atau bahkan dalam menggambar kartun/komik. Siswa diberi kebebasan dalam mengekspresikan hasil kegiatan belajarnya tersebut. Sebelumnya guru memang harus mengetahui titik awal ketika belajar dan titik akhir belajar setiap siswa per individu. Sementara itu, upaya siswa menunjukkan keberhasilannya dalam proses penciptaan makna tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara wujud media. Misalnya dengan poster, puisi, lukisan, komik strip, catatan harian, laporan ilmiah penelitian pribadi, ukiran, patung, dan lain-lain.
IPA sebagai ilmu terdiri dari produk dan proses. Produk IPA terdiri atas fakta (misalnya: orang menghirup udara dan mengeluarkan udara dari hidungnya, biji kacang hijau muncul hipokotil dan dan epikotilnya dan akan bertambah panjang ukurannya saat ditanam pada kapas yang disiram air), konsep ( misalnya: udara yang dihirup ke dalam paru-paru lebih banyak kandungan oksigennya dibandingkan udara yang dikeluarkan dari paru-paru, logam memuai bila dipanaskan), prinsip (misalnya: kehidupan memerlukan energi, benda tak hidup tidak mengalami pertumbuhan), prosedur (misal, pengamatan, pengukuran, tabulasi data, analisis data) teori, (misalnya: teori evolusi, teori asal mula kehidupan), hukum dan postulat ( misal, hukum Boyle, Archimedes, Postulat Kock). Semua itu merupakan produk yang diperoleh melalui serangkaian proses penemuan ilmiah melalui metoda ilmiah yang didasari oleh sikap ilmiah.
Ditinjau dari segi proses, maka IPA memiliki berbagai keterampilan IPA, misalnya:
(a) mengidentifikasi dan menentukan variabel tetap/bebas dan variabel berubah/tergayut, (b) menentukan apa yang diukur dan diamati,
(c) keterampilan mengamati menggunakan sebanyak mungkin indera (tidak hanya indera penglihat), mengumpulkan fakta yang relevan, mencari kesamaan dan perbedaan, mengklasifikasikan,
(d) keterampilan dalam menafsirkan hasil pengamatan seperti mencatat secara terpisah setiap jenis pengamatan, dan dapat menghubung-hubungkan hasil pengamatan,
(e) keterampilan menemukan suatu pola dalam seri pengamatan, dan keterampilan dalam mencari kesimpulan hasil pengamatan,
(f) keterampilan dalam meramalkan apa yang akan terjadi berdasarkan hasil-hasil pengamatan, dan
(g) keterampilan menggunakan alat/bahan dan mengapa alat/bahan itu digunakan. Selain itu adalah keterampilan dalam menerapkan konsep, baik penerapan konsep dalam situasi baru, menggunakan konsep dalam pengalaman baru untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi, maupun dalam menyusun hipotesis.
Keterampilan IPA juga menyangkut keterampilan dalam berkomunikasi seperti :
(a) keterampilan menyusun laporan secara sistematis,
(b) menjelaskan hasil percobaan atau pengamatan,
(c) cara mendiskusikan hasil percobaan,
(d) cara membaca grafik atau tabel, dan
(e) keterampilan mengajukan pertanyaan, baik bertanya apa, mengapa dan bagaimana, maupun bertanya untuk meminta penjelasan serta keterampilan mengajukan pertanyaan yang berlatar belakang hipotesis. Jika aspek-aspek proses ilmiah tersebut disusun dalam suatu urutan tertentu dan digunakan untuk memecahkan suatu permasalahan yang dihadapi, maka rangkaian proses ilmiah itu menurut Towle menjadi suatu metode ilmiah.
Rezba dkk. mendeskripsikan keterampilan proses IPA yang harus dikembangkan pada diri peserta didik mencakup kemampuan yang paling sederhana yaitu mengamati, mengukur sampai dengan kemampuan tertinggi yaitu kemampuan bereksperimen.
Menurut Bryce dkk. keterampilan proses IPA mencakup keterampilan dasar (basic skill) sebagai kemampuan yang terendah, kemudian diikuti dengan keterampilan proses (process skill). Sebagai keterampilan tertinggi adalah keterampilan investigasi (investigation skill). Keterampilan dasar mencakup:
(a) melakukan pengamatan (observational skill),
(b) mencatat data (recording skill),
(c) melakukan pengukuran (measurement skill),
(d) mengimplementasikan prosedur (procedural skill), dan
(e) mengikuti instruksi (following instructions).
Keterampilan proses meliputi:
(a) menginferensi (skill of inference) dan
(b) menyeleksi berbagai cara/prosedur (selection of procedures).
Keterampilan investigasi berupa keterampilan merencanakan dan melaksanakan serta melaporkan hasil investigasi. Keterampilan tersebut juga harus didasari oleh sikap ilmiah seperti sikap antusias, ketekunan, kejujuran, dan sebagainya.
Mengingat dari perkembangan mental peserta didik SMP/MTs menurut Piaget,Carin dan Sund, sebagian besar pada taraf transisi dari fase konkrit ke fase operasi formal, maka diharapkan sudah mulai dilatih untuk mulai mampu berpikir abstrak. Oleh karena itu, pembelajaran IPA di SMP terutama di kelas III hendaknya sudah mengenalkan peserta didik kepada kemampuan untuk mulai melakukan investigasi/ penyelidikan walaupun sifatnya masih sangat sederhana.Setidaknya, peserta didik sudah mulai dilatih untuk merencanakan pengamatan/percobaan sederhana, mengidentifikasi variabel, merumuskan hipotesis berdasar pustaka bukan sekedar menurut dugaan yang rasional berdasar logika, mampu melakukan dan melaporkan percobaan/pengamatan baik secara tertulis maupun lisan. Jika hal seperti itu dibiasakan maka hasil belajar yang dapat dicapai benar-benar akan memuat unsur kognitif, afektif dan psikomotor. Untuk peserta didik sekolah menengah dalam konteks melakukan penyelidikan/investigasi sederhana, peserta didik seharusnya sudah dilatih bagaimana ia harus mengorganisasi data untuk menjawab pertanyaan, atau bagaimana ia dapat mengorganisasi kejadian-kejadian untuk dijadikan alasan pembenar yang paling kuat. Selain itu, proses IPA juga mencakup kemampuan untuk mengkomunikasikan baik secara tertulis berupa pembuatan tulisan/karangan, pemberian label, menggambar, melengkapi peta konsep,mengembangkan/ melengkapi petunjuk kerja, membuat grafik dan mengkomunikasikan secara lisan kepada orang lain.
Menurut DES (Cavendish, at all) proses IPA untuk sekolah menengah sudah berbeda dengan sekolah dasar, yaitu meliputi:
(a) kegiatan melakukan observasi,
(b) memilih kegiatan observasi yang relevan dengan investigasi/penyelidikannya untuk dipelajari lebih lanjut,
(c) menemukan dan mengidentifikasi pola-pola baru dan menghubungkannya dengan pola-pola yang sudah ada,
(d) menyarankan dan menilai penjelasan-penjelasan dari pola-pola yang ada,
(e) mendesain dan melaksanakan percobaan, termasuk melakukan berbagai pengukuran untuk menguji pola-pola yang ada, mengkomunikasikan (baik secara verbal, dalam bentuk matematika, atau grafik) dan menginterpretasi tulisan-tulisan dan bahan ajar lainnya,
(f) memakai peralatan dengan efektif dan hati-hati,
(g) menggunakan pengetahuan untuk melaksanakan investigasi,
(h) menggunakan pengetahuannya untuk memecahkan problem-problem yang berkait dengan teknologi.
Mengingat demikian luasnya kawasan kajian keilmuan IPA berdasar ragam obyek, ragam tingkat organisasi, dan ragam tema persoalannya, maka dalam membelajarkan peserta didik untuk menguasai IPA bukan pada banyaknya konsep yang harus dihafal, tetapi lebih kepada bagaimana agar peserta didik berlatih menemukan konsep-konsep IPA melalui metode ilmiah dan sikap ilmiah, dan peserta didik dapat melakukan kerja ilmiah, termasuk dalam hal meningkatkan kreativitas dan mengapresisasi nilai-nilai.

Karakteristik Peserta Didik
Peserta didik adalah manusia dengan segala fitrahnya. Mereka mempunyai perasaan dan pikiran serta keinginan atau aspirasi. Mereka mempunyai kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi (pangan, sandang, papan), kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan, dan kebutuhan untuk mengaktualisasi dirinya (menjadi dirinya sendiri sesuai dengan potensinya).
Dalam tahap perkembangannya, peserta didik SMP berada pada tahap periode perkembangan yang sangat pesat, dari segala aspek. Berikut ini disajikan perkembangan yang sangat erat kaitannya dengan pembelajaran, yaitu perkembangan aspek kognitif, psikomotor, dan afektif.

1. Perkembangan Aspek Kognitif
Menurut Piaget, periode yang dimulai pada usia 12 tahun, yaitu yang lebih kurang sama dengan usia peserta didik SMP, merupakan ‘period of formal operation’. Pada usia ini, yang berkembang pada peserta didik adalah kemampuan berfikir secara simbolis dan bisa memahami sesuatu secara bermakna (meaningfully) tanpa memerlukan objek yang konkrit atau bahkan objek yang visual. Peserta didik telah memahami hal-hal yang bersifat imajinatif. Implikasinya dalam pembelajaran IPA bahwa belajar akan bermakna kalau input (materi pelajaran) sesuai dengan minat dan bakat peserta didik . Pembelajaran IPA akan berhasil kalau penyusun silabus dan guru mampu menyesuaikan tingkat kesulitan dan variasi input dengan harapan serta karakteristik peserta didik sehingga motivasi belajar mereka berada pada tingkat maksimal. Pada tahap perkembangan ini juga berkembang ketujuh kecerdasan dalam Multiple Intelligences yang dikemukakan oleh Gardner (1993), yaitu:
(1) kecerdasan linguistik (kemampuan berbahasa yang fungsional),
(2) kecerdasan logis-matematis (kemampuan berfikir runtut),
(3) kecerdasan musikal (kemampuan menangkap dan menciptakan pola nada dan irama),
(4) kecerdasan spasial (kemampuan membentuk imaji mentaltentang realitas),
(5) zkecerdasan kinestetik-ragawi (kemampuan menghasilkan gerakan motorik yang halus),
(6) kecerdasan intra-pribadi (kemampuan untuk mengenal diri sendiri dan mengembangkan rasa jati diri),
(7) kecerdasan antarpribadi (kemampuan memahami orang lain).
Di antara ketujuh macam kecerdasan ini sesuai dengan karakteristik keilmuan IPA akan dapat berkembang pesat dan bila dapat dimanfaatkan oleh guru IPA untuk berlatih mengeksplorasi gejala alam, baik gejala kebendaan maupun gejala kejadian/peristiwa guna membangun konsep IPA.

2. Perkembangan Aspek Psikomotor
Aspek psikomotor merupakan salah satu aspek yang penting untuk diketahui oleh guru. Perkembangan aspek psikomotor juga melalui beberapa tahap. Tahap-tahap tersebut antara lain
a. Tahap Kognitif
Tahap ini ditandai dengan adanya gerakan-gerakan yang kaku dan lambat. Ini terjadi karena peserta didik masih dalam taraf belajar untuk mengendalikan gerakan-gerakannya. Dia harus berpikir sebelum melakukan suatu gerakan. Pada tahap ini peserta didik sering membuat kesalahan dan kadang-kadang terjadi tingkat frustasi yang tinggi.

b. Tahap Asosiatif
Pada tahap ini, seorang peserta didik membutuhkan waktu yang lebih pendek untuk memikirkan tentang gerakan-gerakannya. Dia mulai dapat mengasosiasikan gerakan yang sedang dipelajarinya dengan gerakan yang sudah dikenal. Tahap ini masih dalam tahap pertengahan dalam perkembangan psikomotor. Oleh karena itu, gerakan-gerakan pada tahap ini belum merupakan gerakan-gerakan yang sifatnya otomatis. Pada tahap ini, seorang peserta didik masih menggunakan pikirannya untuk melakukan suatu gerakan tetapi waktu yang diperlukan untuk berpikir lebih sedikit dibanding pada waktu dia berada pada tahap kognitif. Dan karena waktu yang diperlukan untuk berpikir lebih pendek, gerakan-gerakannya sudah mulai tidak kaku.
c. Tahap Otonomi
Pada tahap ini, seorang peserta didik telah mencapai tingkat autonomi yang tinggi. Proses belajarnya sudah hampir lengkap meskipun dia tetap dapat memperbaiki gerakan-gerakan yang dipelajarinya. Tahap ini disebut tahap autonomi karena peserta didik sudah tidak memerlukan kehadiran instruktur untuk melakukan gerakan-gerakan. Pada tahap ini, gerakan-gerakan telah dilakukan secara spontan dan oleh karenanya gerakan-gerakan yang dilakukan juga tidak mengharuskan pembelajar untuk memikirkan

3. Perkembangan Aspek Afektif
Keberhasilan proses pembelajaran IPA juga ditentukan oleh pemahaman tentang perkembangan aspek afektif peserta didik . Ranah afektif tersebut mencakup emosi atau perasaan yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Bloom memberikan definisi tentang ranah afektif yang terbagi atas lima tataran afektif yang implikasinya dalam peserta didik SMP lebih kurang sebagai berikut:
a. Sadar akan situasi, fenomena, masyarakat, dan objek di sekitar
b. Responsif terhadap stimulus-stimulus yang ada di lingkungan mereka
c. Bisa menilai
d. Sudah mulai bisa mengorganisir nilai-nilai dalam suatu sistem, dan menentukan hubungan di antara nilai-nilai yang ada
e. Sudah mulai memiliki karakteristik dan mengetahui karakteristik tersebut dalam bentuk sistem nilai.
Pemahaman terhadap apa yang dirasakan dan direspon, dan apa yang diyakini dan diapresiasi merupakan suatu hal yang sangat penting dalam teori pemerolehan bahasa kedua atau bahasa asing. Faktor pribadi yang lebih spesifik dalam tingkah laku peserta didik yang sangat penting dalam penguasaan berbagai materi pembelajaran, yang meliputi:
a. Self-esteem, yaitu penghargaan yang diberikan seseorang kepada dirinya sendiri.
b. Inhibition, yaitu sikap mempertahankan diri atau melindungi ego.
c. Anxiety (kecemasan), yang meliputi rasa frustrasi, khawatir, tegang, dan sebagainya.
d. Motivasi, yaitu dorongan untuk melakukan suatu kegiatan.
e. Risk-taking, yaitu keberanian mengambil risiko.
f. Empati, yaitu sifat yang berkaitan dengan pelibatan diri individu pada perasaan orang lain.
Dengan demikian, selain harus mempertimbangkan miskonsepsi yang dimiliki oleh setiap siswa sebelum mendapatkan pembelajaran, guru juga harus mempertimbangkan penalaran formal yamg berbeda-beda yang dimilki oleh siswa. Hal ini dapat dilaksanakan dengan baik bila informasi tentang penalaran formal siswa sudah dimiliki oleh guru. Piaget menyatakan bahwa anak-anak dianggap siap mengmbangkan konsep khusus jika memperoleh skemata yang diperlukan.

C. Keterkaitan Mipa Dalam Tekhnologi Dan Masyarakat
Tanpa mengesampingkan ilmu pengetahuan sosial, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) merupakan basis bagi pengembangan tekhnologi dan industri. Oleh karena itu pendidikan yang globally competitive tentunya berlandaskan pada konsep broad based dalam pengertian sebagaimana telah diungkapkan di atas sehingga selain mempunyai keterampilan bekerja (siap kerja) lulusan peserta didik akan memiliki kemampuan yang cukup untuk mengembangkan karir akademiknya.
Matematika adalah ilmu yang mempelajari logika dari kuantitas, bentuk dan susunan (pola). Ilmu matematika dapat dikelompokkan atas empat kelompok bidang fundamental yang saling terkait, yaitu aljabar, foundation of mathematics (logika), analisis, dan geometri. Di luar itu terdapat bidang statistic (dan peluang) yang memiliki banyak aplikasi di berbagai cabang ilmu. Matematika seringkali dipandang sebagai bahasa ilmu pengetahuan/sains (khususnya sains alam), yaitu pengetahuan manusia tentang perilaku alam. Perilaku umum tersebut diungkapkan dalam sains sebagai hukum-hukum dasar sains. Ada sejumlah karakteristik umum yang dijumpai, baik pada alam hayati maupun non-hayati, yaitu universalitas, keberagaman, evolusi/perubahan terhadap waktu, keberlangsungan, dan interaksi.

D. Permasalahan Pendidikan MIPA
Penguasaan Iptek merupakan kunci penting dalam abad 21 ini. Oleh karena itu, peserta didik perlu dipersiapkan untuk mengenal, memahami, dan menguasai Iptek dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya. Upaya untuk mempersiapkan hal itu memang sudah dilakukan melalui pendidikan formal, sesuai dengan Undang-undang No. 2 tahun 1989. Pengantar Sains dan Teknologi pun sudah diajarkan sejak pendidikan dasar.
Persiapan sedini mungkin sangat dibutuhkan untuk menghadapi tantangan dimasa depan yang secara kualitatif cenderung meningkat. Berbagai tantangan muncul, antara lain menyangkut peningkatan kualitas hidup, pemerataan hasil pembangunan, partisipasi masyarakat, dan kemampuan untuk mengembangkan sumber daya manusia. Pendidikan IPA sebagai bagian dari pendidikan umumnya memiliki peran penting dalam peningkatan mutu pendidikan, khususnya di dalam menghasilkan peserta didik yang berkualitas, yaitu manusia yang mampu berfikir kritis, kreatif, logis dan berinisiatif dalam menanggapi isu dimasyarakat yang diakibatkan oleh dampak perkembangan IPA dan tekhnologi.
Dewasa ini, pembelajaran IPA masih didominasi oleh penggunaan metode ceramah dan kegiatannya lebih berpusat pada guru. Aktivitas siswa dapat dikatakan hanya mendengarkan penjelasan guru dan mencatat hal-hal yang dianggap penting. Guru menjelaskan IPA hanya sebatas produk dan sedikit proses. Salah satu penyebabnya adalah padatnya materi yang harus dibahas dan diselesaikan berdasarkan kurikulum yang berlaku. Padahal, dalam membahas IPA tidak cukup hanya menekankan pada produk, tetapi yang lebih penting adalah proses untuk membuktikan atau mendapatkan suatu teori atau hukum. Oleh karena itu, alat peraga/praktikum sebagai alat media pendidikan untuk menjelaskan. IPA sangat diperlukan. Pembelajaran IPA dengan menggunakan alat peraga sangat efektif untuk menanamkan dan mengembangkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai limiah pada siswa serta rasa mencintai dan menghargai kebesaran Tuhan YME. Tujuan IPA secara umum adalah agar siswa memahami konsep IPA dan keterkaitannya dengan kehidupan sehari-hari,memiliki keterampilan tentang alam sekitar untuk mengembangkan pengetahuan tentang proses alam sekitar, mampu menerapkan berbagai konsep IPA untuk menjelaskan gejala alam dan mampu menggunakan teknologi sederhana untuk memecahkan masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu cara untuk dapat menciptakan sumber daya manusia berkualitas, guru dalam mengajar dapat menggunakan beberapa metode dan pendekatan. Dalam hal ini, pendekatan yang paling sesuai dengan perkembangan Iptek adalah pendekatan Sains Teknologi Masyarakat ( STM ), karena pendekatan ini memungkinkan siswa berperan aktif dalam pembelajaran dan dapat menampilkan peranan Sains dan Teknologi didalam kehidupan masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan STM dalam pembelajaran IPA, guru dapat memulai dengan isu yang dikemukakan oleh siswa yang ada dimasyarakat.
Dengan menggunakan pendekatan STM dalam pembelajaran IPA siswa tidak hanya sekedar menerima informasi dari guru saja, karena dalam hal ini guru sebagai motivator dan fasilitator yang mengarahkan siswa agar dapat memberikan saran-saran berdasarkan hasil pengamatannya dimasyarakat.
Penguasaan konsep merupakan penguasaan terhadap abstraksi yang memiliki satu kelas atau objek-objek kejadian atau hubungan yang mempunyai atribut yang sama. Menurut Piaget pertumbuhan intelektual manusia terjadi karena adanya proses kontinyu yang menunjukkan equilibrium-disequilibrium, sehingga akan tercapai tingkat perkembangan intelektual yang lebih tinggi. Belajar akan menjadi efektif apabila kegiatan belajar sesuai dengan perkembangan intelektual anak. Selain itu, guru di dalam kelas perlu mengenal anak didik dan bakat khusus yang mereka milki agar dapat memberikan pengalaman pendidikan yang dibutuhkan oleh masing-masing siswa untuk dapat mengembangkan bakat mereka secara optimal sesuai dengan tujuan pendidikan.
Sikap yang terbentuk pada diri siswa terhadap mata pelajaran tentunya tergantung pada sikap gurunya terhadap mata pelajaran itu, dan bagaimana cara guru menyampaikan mata pelajaran itu. Apabila setiap mengajar guru bersikap positif dan baik, maka lambat laun siswa berada dalam kondisi belajar yang berkesan baik dan mendalam, sehingga terbentuk sikap positif terhadap mata pelajaran itu. Jika mata pelajaran tersebut adalah IPA maka akan terbentuklah sikap yang positif terhadap IPA.
Karena belajar bukan sekedar untuk memahami tentang sesuatu fakta tertentu melainkan bagaimana menginteprestasikan fakta-fakta tersebut kedalam konteks kehidupan pribadi. Seperti yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut :
a. Suharsimi Arikunto, bahwa sebenarnya sikap merupakan bagian dari tingkah laku manusia sebagai gejala atau gambaran kepribadian yang memancar keluar.
b. Menurut Wynne Harlen dalam Hendro Darmodjo dan Yenny Kaligis, ada 9 aspek sikap ilmiah yang dapat dikembangkan pada anak usia SD yaitu:
(1) sikap ingin tahu (curiousity);
(2) sikap ingin mendapatkan sesuatu yang baru (originality)
(3) sikap kerja sama (cooperation),
(4) sikap tidak putus asa (perseverense),
(5) sikap tidak berprasangka (open mendidness),
(6) sikap mawas diri (self criticism),
(7) sikap bertanggung jawab (responsibility),
(8) sikap berpikir bebas (independence in thinking), dan
(9) sikap kedisiplinan diri (self discipline)..
Pendidikan sains dengan menggunakan pendekatan STM adalah suatu bentuk pengajaran yang tidak hanya menekankan pada penguasaan konsep-konsep sains saja tetapi juga menekankan pada peran sains dan teknologi di dalam berbagai kehidupan masyarakat dan menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial terhadap dampak sains dan teknologi yang terjadi di masyarakat. Dalam hal ini, Hidayat dan Poedjiadi berpendapat sama bahwa belajar IPA melalui isu-isu sosial di masyarakat yang ada kaitannya dengan IPA dan Teknologi dirasakan lebih dekat, dan belajar IPA melalui isu-isu sosial di masyarkat yang ada kaitannya dengan IPA dan teknologi dirasakan lebih punya arti bila dibandingkan dengan konsep-konsep dan teori IPA itu sendiri.
Pembelajaran dengan menggunakan pedekatan STM memiliki ciri yang paling utama, yang dilakukan dengan memunculkan isu sosial di awal pembelajaran dan guru sebelumnya sudah memiliki isu yang sesuai dengan konsep yang akan diajarkan. Adalah suatu kekeliruan apabila seorang guru mengajarkan IPA dengan cara mentransfer saja apa–apa yang disebut di dalam buku teks kepada anak-anak didiknya. Hal ini disebabkan apa yang tersurat di dalam buku teks itu baru merupakan satu sisi atau satu dimensi saja dari IPA yaitu dimensi produk.
Dengan mengikuti kegiatan ilmiah yang dilakukan dalam pembelajaran dengan pendekatan STM, siswa menyadari adanya suatu masalah dan mempunyai keinginan untuk memecahkan masalah, serta kemudian menyimpulkan fakta-fakta yang ada hubungannya dengan masalah yang terjadi melalui pengamatan. Untuk melatih siswa agar memiliki kreativitas yang tinggi dalam pendekatan STM di dalam semua kegiatan perlu dilakukan aktivitas yang optimal dari semua siswa.
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM dapat meningkatkan sikap siswa yang semula kurang baik menjadi lebih baik dan dapat meningkatkan kepedulian siswa terhadap kegiatan masyarakat sehari-hari seperti: (a) tukang minuman yang sedang membuka tutup botol, (b) ayah yang sedang mencabut paku di dinding, (c) tukang minyak tanah yang sedang memindahkan drum besar dari bawah ka atas truk, dan (d) paman yang sedang memindahkan lemari yang besar dari ruang tamu ke dalam kamar..


















BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
• Pada hakekatnya sains terdiri atas tiga komponen, yaitu produk, proses, dan sikap ilmiah. Jadi tidak hanya terdiri atas kumpulan pengetahuan atau fakta yang dihafal, namun juga merupakan kegiatan atau proses aktif menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam.
• pembelajaran IPA masih didominasi oleh penggunaan metode ceramah dan kegiatannya lebih berpusat pada guru. Aktivitas siswa dapat dikatakan hanya mendengarkan penjelasan guru dan mencatat hal-hal yang dianggap penting
• pembelajaran MIPA berdasarkan budaya adalah multiple representations yang berarti hasil belajar siswa dinilai melalui beragam tekhnik dan alat ukur, siswa pun mengekspresikan keberhasilannya dalam berbagai bentuk.
• Pendidikan MIPA sangat berperan dalam kehidupan kita sehari hari, baik itu dalam bidang tekhnologi maupun pada bidang yang lainnya

B. SARAN
Dalam melakukan pembelajaran MIPA sebaiknya tidak dilakukan di dalam ruang kelas saja melainkan di luar kelas. Sehingga para peserta didik dapat memahami lebih jauh tentang apa yang dipelajarinya








DAFTAR PUSTAKA

- Wikipedia bahasa Indonesia
-

PSIKOLOGI PENDIDIKAN

BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
Tidak dapat diragukan lagi, bahwa sejak anak manusia yang pertama lahir di dunia, telah ada di lakukan usah-usaha pendidikan; manusia telah berusaha mendidik anak-anaknya kendatipun dalam cara yang sangat sederhana.demikian pula semenjak manusia saling bergaul telah ada usaha-usaha dari orang-orang yang lebih mampu dalam hal-hal tertentu untuk mempengaruhi orang-orang lain, teman bergaul mereka, untuk kepentingan kemajuan orang-orang bersangkutan itu.
Jika ditanya apakah psikologi pendidikan itu? Lebih konkret lagi, psikologi pendidikan itu membicarakan apa saja, maka akan didapatkan jawaban yang bermacam-macam sekali.
Psikologi pendidikan berusaha untuk menjadikan kajian tentang faktor-faktor psikologis yang berperanan dalam proses pendidikan. Dalam proses pendidikan ini, persoalan psikologis apa sajakah yang relevan? Pada hakikatnya inti persoalan psikologis terletak pada anak didik,sebab pendidikan adalah perlakuan terhadap anak didik dan secara psikologis perlakuan ini harus selaras mungkin dengan anak didik. Karena problem yang diajukan diatas dapat di jawab dengan menunjuk kepada sifat-sifat psikologis yang ada pada anak didik dan ini menentukan inti segi-segi ilmu pengetahuan psikologis yang diperlukan.

B. TEORI-TEORI KEPRIBADIAN
Beberapa psikolog membagi tipe kepribadian berbeda satu sama lain, dan perbedaab ini disebabkan oleh sudut pandang dari mana penelitian atas kepribadian di mulai.
1. Type Theoy
Pada doktrin Hippocrates bahwa tubuh manusia di bawah dari darah, zat empedu kuning, zat empedu hitam, zat lendir yang berkaitan erat dengan empat tipe tempramen manusia berikut:
(1) Sanguin dengan kekuatan pengaruh zat darah, dicirikan dengan orang yang aktif, giat dan atletis.
(2) Cholric dengan kekuatan pengaruh zat empedu kuning, dicirikan dengan tempramen suka marah.
(3) Melancholic dengan kekuatan pengaruh zat empedu hitam, dicirkan dengan mudah depresi atau sedih.
(4) Plegmatik dengan kekuatan pengaruh cairan lendir dicirikan dengan cepat lelah dan malas.
2. Trait Theory
Trait (watak), sebagai susunan neuropsichic yang mempunyai kemampuan membrikan banyak rangsangan pada fungsi yang sederajat dengan mengarahkan bentuk dan pengungkapkan prilaku. R.B. Cattell mengklasifikasikan sifat berdasarkan empat pasang tipe, yaitu :
(1) Sifat-sifat umum yang dimiliki oleh semua orang dan orang yang memiliki sifat khusus dan tidak dimiliki oleh orang lain.
(2) Suatu sifat ada yang dengan mudah dapat dilihat dan ada yang harus dilakukan penelitian lebih jauh baru dapat kelihatan,
(3) Sifat yang tergantung pada pembawaan dan tergantung pada lingkungan.
(4) Sifat yang mendorong seseorang untuk mencapai tujuan dan sifat yang menentukan kemampuan untuk mencapai tujuan dan tempramen adalah aspek-aspek emosional yang mengarahkan kepada aktivitas.
3. Psychoanalysis Theory
Kepribadian manusia adalah pertarung antara id, ego, dan super ego. Id adalah bagian kepribadian manusia yang mengendalikan dorongan biologis seperti dororngan sex dan sifat agresif, id bertindak atas prinsip kesenangan semata, sehingga seringkali di sebut tabiat hewani manusia. Super ego adalah hati nurani yang bertidak atas prinsip moral. Super ego merupakan internalisasi dari norma social dan kultural masyarakatnya, id dan super ego seringkali bertentangan, dan ketiganya berada dalam alam bawah sadar manusia.
4. Phenomendagy Theory
Teori ini melihat manusia sebagai pribadi yang unik dan sangat individual sifatnya, artinya kepribadian seseorang dalam perkembangannya, sangat dipengaruhi oleh factor lingkungannya, dalam hal ini orang tua dan orang-orang yang menjadi panutannya.

























BAB II
KEDUDUKAN PSIKOLOGI KEPRIBADIAN DALAM PSIKOLOGI


KEPRIBADIAN DALAM PSIKOLOGI PENDIDIKAN

A. PENGERTIAN UMUM
Personality atau kepribadian berasal dari kata persona yang berarti topeng yakni alat untuk menyembunyikan identitas diri. Bagi bangsa romawi persona berarti bagaimanan seseorang tampak pada orang lain. Adapun pribadi yang merupakan terjemahan dari bahasa inggris.
Secara filosofis dapat di katakana bahwa pribadi adalah aku yang sejati dan kepribadian merupakan penampakan sang aku dalam bentuk prilaku tertentu. Disini muncul gagasan umum bahwa kepribadian adalah kesan yang diberikan seseorang kepada orang lain yang di peroleh dari apa yang dipikir,dirasakan,dan diperbuat
Pada dasarnya jiwa manusia dibedakan menjadi dua aspek, yakni aspek kemampuan dan aspek kepribadian. Aspek kemampuan meliputi prestasi belajar, inteligensi dan bakat, sedangkan aspek kepribadian meliputi watak, sifat, penyesuaian diri, minat, emosi, dan motivasi. Gagasan tersebut memberikan gambaran umum arti kepribadian memberikan gambaran kesan tentang apa yang dipikirkan, dirasakan dan diperbuat, yang terungkap melalui prilaku.
Ilmu tentang kepribadian cakupnya sangat luas, yang pada perkembangannya, teori ini sudah sangat maju dalam pengenalan yang lebih luas tentang kepribadian manusia. Namun meskipun hanya membatasi sebagian dari pengetahuan itu, membicarakan kepribadian merupakan suatu hal yang menarik.
B. Tipologi
1. Riwayat Singkat Psikologi Kepribadian
(1) Teori Hippocrates-Galenus
Alam semesta beserta isinya ini tersusun atas empat unsure pokok, yaitu tanah, air, udara, dan api yang maasing-masing mendukung sifat tertentu, yaitu tanah mendukung sifat kering, air mendukung sifat dingin, dan api mendunkung sifat panas. Maka Hippocrates (460-370) berpendapat, bahwa dalam tubuh manusia juga terdapat sifat-sifat tersebut yang di dukung oleh cairan-cairan yang ada dalam tubuh yaitu: sifat kering di dukung oleh chole, sifat basah yang di dukung oleh melanchole, sifat dimgin di dukung oleh plegma, dan sifat panas di dukung oleh sanguis, pendapat ini disempurnakan oleh Galenus (129-200).
(2) Tipologi Mazhab Italia dan Mazhab Perancis
a. Tipologi Mazhab Italia
DeGiovani, Viola dalam peneylidikan-penyelidikannya menemukan bahwa ada tiga macam tipe manusia berdasar atas keadaan tubuhnya, yaitu:
• Ukuran-ukuran mengak relatif dominant, sehingga orangnya kelihatan tinggi jangkung.
• Ukuran-ukurannya mendatarnya relatif dominant, sihingga orangnya kelihatan pendek dan gemuk.
• Ukuran-ukuran menegak dam mendatar, sehingga orang kelihatan seimbang.
b. Tipologi Mazhab Perancis
Mazhab Perancis yang di pimpin oleh Sigaud berpendapat bahwa keadaan serta bentuk tubuh manusia serta kelainan-kelainannya itu pada pokoknya ditentukan olah sekitar atau lingkungan.
2. Hubungan Antara Karakter dan Bakat
a. Pembentukan Karakter
(1) Pendidikan dan Anak
Ada perbedaan pendapat mengenai pendidikan dan anak di kalangn orang tua mengenai nilai latihan yang diberikan di sekolah Taman Kanak-Kanak. Sebagian orang tua menganggap bahwa anak yang berumur 2,5-3 tahun adalah masa penting bagi anak-anak untuk mendapat kasih saying dan perhatian langsung dari orang tuanya sendiri.
(2) Pengaruh Sekolah Selama Tahun-tahun Pertengahan
Sejak berumur 9-12 tahun anak tadi harus di bimbing atau di Bantu untuk ikut serta mengambil bagian dalam kerja kelompok agar dapat bekerja sama dengan teman-temannya dengan baik. Oleh sebab itu, anak pada masa-masa tersebut juga harus diberikan kesempatan untuk melatih pengarahan dirinya sendiri menurt minat dan perhatiannya.
(3) Pendidikan Selam Remaja
Sekolah lanjutan atau perguruan tinggi yang diorganisasikan dengan baik dapat memberikan banyak kesempatan kepada para siswa/siswinya untuk berpartisipasi dalam kegiatan social yang diprakarsai.
b. Bakat
Tentang bakat masalahnya sudah sama tuanya dengan manusia sendiri. Sejak dahulu kala orang sudah berusaha menggarap masalah ini, walaupun tentu saja kalau di pandang dari kaca mata ilmu pengetahuan dewasa ini hasilnya masih sangat jauh dari memuaskan. Urgensi untuk menggarap masalah ini masih tetap ada sampai sekarang, terlebih-lebih dalam hubungan dengan usaha pendidikan dalam pemilihan lapangan kerja. Suatu hal yang di pandang self-evident ialah bahwa seseorang akan lebih berhasil kalau dia belajar dalam lapangan yang sesuai dengan bakatnya; demikian pula dalam lapangan kerja, seseorang kan lebih berhasil kalau dia bekerja dalam lapangan yang sesuai dengan bakatnya.

Apakah Bakat itu?
William B.Michael meninjau bakat itu terutama dari segi kemampuan individu untuk melakukan sesuatu tugas, yang sedikit sekali tergantung kepada latihan mengenai hal tersebut.
Dalam devinisi Bingham menitip beratkan pada segi apa yang dapat dilakukan oleh individu, jadi segi performance, setelah individu mendapatkan latihan.
Orientasi yang lebih luas mengenai berbagai pendapat tentang bakat menunjukan, bahwa analisis tentang bakat selalu-seperti setiap analisis psikologis yang lain-merupakan analisis tentang tingkah laku. Dan dari analisis tentang tingkah laku itu kita ketemukan, bahwa dalam tingkah laku itu kita dapatkan gejala seperti berikut:

a. bahwa individu melakukan sesuatu,
b. bahwa apa yang dilakukan itu merupakan sebab dari sesuatu tertentu (atau merupakan akibat atau hasil tertentu), dan
c. bahwa dia melakukan sesuatu itu dengan cara tertentu.
3. Hubungan antara Tempramen, Karakter dan Bentuk Jasmani

C. Jenis Tipologi
a. Kepribadian dan Perbedaan Indiviudal
Kalau diadakan orientasi dalam lapangan psikologi kepribadian ini, maka secara garis besarnya akan didapatkan dua macam pendekatan mengenai kepribadian. Berpangkal pada kenyataan, bahwa kepribadian menusia sangat bermacam-macam sekali, mungkin sama banyak dengan banyak orang, segolongan ahli berusaha mnggolong-menggolongkan manusia itu ke dalam tipe-tipe tertentu, karena mereka berpendapat bahwa cara itulah yang paling efektif untuk mengenal sesame manusia dengan baik. Pada sisi lain sekelompok ahli berpendapat, bahwa cara bekerja seperti yang dikemukakan di atas tidak memenuhi tujuan psikologi kepribadian, yaitu mengenal sesame manusia menurut apa adanya , menurut sifat-sifatnya yang khas karena dengan penggolongan ke dalam tipe-tipe itu orang justru menyembunyikan kekhususan sifat-sifat seseorang.

b. Perkembangan Kepribadian
1. Prinsip Perkembangan
Beberapa prinsip perkembangan antara lain:
1. perkembangan merupakan fungsi jasmaniah dan kejiwaan yang belangsung dalam proses satu kesatuan yang menyeluruh (integrated);
2. setiap individu mempunyai kecepatan perkembangan;
3. perkembangan seseorang, baik secara keseluruhan maupun setiap aspek tidak konstan melaikan berirama;
4. proses perkembangan dengan mengikuti pola tertentu;
5. proses perkembangan berlangsung secara berkesinambungan;
6. antara aspek perkembangan yang satu dengan aspek yang lain saling berkaitan atau berkorelasi secara signifikan;
7. perkembangan berlangsung dari pola yang bersifat umum ke khusus;
8. perkembangan dipengaruhi oleh hereditas dan lingkungan;
9. memiliki fungsi kepribadian yang bersifat jasmaniah.
2. Hukum Perkembangan
Hukum perkembangan dalam kepribadian meliputi: (1) perkembangan bersifat kualitatif, (2) perkembangan sangat dipengaruhi oleh proses dan hasil belajar, (3) usia ikut mempengaruhi perkembangan, (4) masing-masing individu mempunyai tempo perkembangan yang berbeda-beda, (5) dalam keseluruhan periode perkembangan, (6) setiap spesies perkembangan individu mengikuti pola umum yang sama, dan (7) perkembangan dipengaruhi oleh hereditas dan lingkungan pendidikan.

3. Tahap Perkembangan Pribadi Manusia
Pembentukan pribadi seseorang terjadi dari lahir sampai usia 20 tahun. Freud mengemukakan adanya enam tahap perkembangan fisiologi manusia, yaitu:


1. Tahap Oral (umur 0 sampai sekitar 1 tahun)
Dalam tahap ini, mulut bayi merupakan daerah utama dari aktivitas yang dinamis pada manusia
2. Tahap Anal (antara umur 1 sampai 3 tahun)
Dalam tahap ini, dorongan dan aktivitas gerak individu lebih banyak terpusat pada fungsi pembuangan kotoran.
3. Tahap Falish (antara umur 3 sampai 5 tahun)
Dalam tahap ini, alat kelamin merupakan daerah perhatian yang penting dalam pendorong ativitas.
4. Tahap Klaten (antara umur 5 tahun sampai 12-13 tahun)
Dalam tahap ini dorongan aktivitas dan pertumbuhan cenderung bertahan dan istarah dalam arti tidak meningkatkan kecepatan pertumbuhan.
5. Tahap Pubertas (antara umur 12-13 tahun sampai 20 tahun)
Dalam tahap ini, dorongan aktif kembali, kelenjar Endokrin tumbuh pesat dan berfungsi memperceapat pertumbuhan ke arah kematangan.
6. Tahap Genital (setelah umur 20 tahun dan seterusnya)
Dalam tahap ini, pertumbuhan genital merupakan dorongan penting bagi tingkah laku seseorang.
Menurut Jean Jacques Rousseau perkembangan fungsi dan kapasitas kejiwaan manusia belansung dalam lima tahap yaitu:
1. Tahap perkembangan masa bayi (sejak lahir-2 tahun), dalam tahap ini, perkembangan pribadi di dominasi oleh perasaan.
2. Tahap perkembangan masa kanak-kanak (2 tahun s.d 12 tahun), dalam tahap ini, perkembangan pribadi anak di mulai dengan semakin berkembangnya fungsi indra anak untuk mengadakan pengamatan.
3. Tahap perkembangan pada masa preadolesen (12 tahun s.d 15 tahun), dalam tahap ini, perkembangan fungsi penalaran intelektual pada anak sangat dominan.
4. Perkembangan pada masa adolesen (15-20 tahun), dalam tahap perkembangan ini, kualitas kehidupan manusia di warnai oleh dorongan seksual yang kuat.
5. Masa pematangan diri (setelah umur 20 tahun), dalam tahap ini, perkembangan fungsi kehendak mulai dominan.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepribadian Manusia
Perubahan dalam kepribadian tidak terjadi secara sapontan, tapi merupakan hasil pematangan, pengalaman, takanan dari lingkungan sosial budaya, dan factor-faktor individu.
1. Pengalaman Awal
Trauma kelahiran, pemisahan dari ibu adalah pengalaman yang sulit di hapus dari ingatan.


2. Pengaruh Budaya
Anak mengalami tekanan untuk mengembangkan pola kepribadian yang sesuai dengan standar yang di tentukan budayanya.
3. Kondisi Fisik
Kondisi tubuh menentukan apa yang dapat dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan seseorang.


4. Daya Tarik
Bagi mereka yang memilikikarakteristik menarik akan memperkuat sikap social yang menguntungkan
5. Inteligensi
Perhatian yang berlebihan terhadap anak yang pandai dapat menjadikan ia sombong, dan anak yang kurang pandai merasa bodoh apabila berdekatan dengan orang yang pandai tersebut dan tidak jarang memberikan perlakuan yang kurang baik.
6. Emosi
Ledakan emosional tanpa sebab yang tinggi dinilai sebagai orang yang matang.
7. Nama
Walaupun hanya sekadar nama, tetapi memiliki sedikit pengaruh terhadap konsep diri, namun pengaruh itu hanya terasa apabila anak menyadari bagaimana nama itu mempengaruhi orang yang berarti dalam hidupnya.
8. Keberhasilan dan Kegagalan
Keberhasilan dan kegagalan akan mempengaruhi konsep diri, kegagalan dapat merusak konsep diri, sedangkan keberhasilan akan menunjang konsep diri itu.
9. Penerimaan Sosial
Anak yang diterima dalalam kelompok sosialnya dapat mengembangkan rasa percaya diri dan kepandaiannya.
10. Pengaruh Keluarga
Pengaruh keluarga sangat mempengaruhi kepribadian anak, sebab waktu terbanyak anak adalah keluarga dan di dalam keluarga itulah diletakan sendi-sendi dasar kepribadian.


11. Perubahan Fisik
Perubahan kepribadian dapat disebabkan oleh adanya perubahan kematangan fisik yang mengarah kepada perbaikan kepribadian.










d. Manfaat mempelajari psikologi kepribadian
Sebagi seorang guru, mempelajari psikologi kepribadian sangatlah penting. Karena seseorang guru pasti menghadapi banyak murid atau siswa yang memiliki kepribadian yang berbeda. Sehingga dengan memahami konsep kepribadian tiap individu maka seorang guru bias memahami keadaan yang ada pada diri anak didiknya masing-masing.




e. Hambatan-hambatan dalam psikologi kepribadian
sampai pada saat ini hambatan yang dihadapi oleh setiap orang dalam psikologi kepribadian sangat banyak sekali, diantaranya mampu atau tidaknya seseorang memahami konsep psikologi kepribadian





























BAB III
TEORI-TEORI BELAJAR YANG MELANDASI
PENDIDIKAN IPA

A. Teori Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :
1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
1. Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
2. Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
3. Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
1. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
2. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.

3. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
1. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
2. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
4. Social Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan


B. TEORI KOGNITIF
Psikologi kognitif mulai diperkenalkan pada akhir abad ke-19 yaitu dengan lahirnya teori belajar gestalt dan salah satu tokoh psikologi gestalt adalah max wherteimer, di mana ia meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Kemudian dilanjutkan oleh kurt kaffa yang mencoba untuk menguraikan secara terperinci hukum-hukum pengamatan. Tokoh yang lain adalah wolfgang kohler yang meneliti tentang insight pada simpanse. Hasil penelitian tokoh tersebut telah memunculkan psikologi gestalt. Yang mengutamakan pembahasan pada masalah konfigurasi struktur dan pemetaan dalam pengalaman
Psikologi kognitif merupakan salah satu cabang dari psikologi uumum dan mencakup studi ilmiah tentang gejala-gejala kehidupan mental sejauh berkaitan dengan cara manusia berpikir dalam memperoleh pengetahuan, mengolah kesan-kesanyang masuk melalui indra, pemecahan masalah, menggali ingatan pengetahuan dan prosedur kerja yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan mental mencakup gejala kognitif, afektif, dan psikomotorik tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
TEORI BELAJAR KOGNITIF
1. Cognitive Field
Teori belajar Cognitive Field menitik beratkan perhatian pada kepribadian dan psikologi social, karena pada hakikatnya masing-masing individu berada dalam suatu medan kekuatan , yang bersifat psikologis, yang disebut life spice. Yang mencakup perwujudan lingkungan dimana individu bereaksi misaknya orang yang dijumpai, fungsikejiwaan yang dimiliki dan objek material yang dihadapi. Menurut teori ini, belajar itu berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif.

2. Cognitive Development (piaget)
Dalam teori ini piaget memandang bahwa proses berpikir merupakan aktivitas gradual dari fungsi intelektual yaitu dari berpikir konkret menuju abstrak. Berarti perkembangan kapasitas mental memberikan kemampuan baru yang sebelumnya tida ada
1. struktur atau scheme ialah pola tingkah laku yang dapat diulang
2. isi atau content ialah pola tingkah laku spesifikketika seseorang menghadapi suatu masalah
3. fungsi atau function adalah yang brhubungan dengan cara seseorang mencapai kemajuan intelektual. Function terdiri atas dua macam fungsi invariant suatu masalah.
Organisasi berupa kecakapan seseorang dalam menyusun proses fisik dan psikis dalam bentuk system yang koheren. Jadi perkembangan kognitif tergantung pada akomodasi. Oleh karena itu siswa harus diberikan suatu areal yang belum diketahui agar dapat belajar.

3. Teori Benyamin S. Bloom
Benyamin S. Bloom telah mengembangkan taksonomi untuk domain kognitif. Taksonomi adalah metode untuk membuat urutan pemikiran dari tahap dasr kea rah yang lebih tinggi dari kegiatan mental, dengan enam tahap sebagai berikut:
1. Pengetahuan (knowledge) ialah kemampuan untuk menghapal, mengingat, atau mengulangi informasi yang diberikan.
2. Pemahaman (comprehension) kemampuan untuk menginterpretasi atau mengulang informasi dengan menggunakan bahasa sendiri.
3. Aplikasi (application)ialah kemampuan menggunakan informasi, teori, dan aturan pada situasi baru.
4. Analisis (analysis) ialah kemampuan mengurai pemikiran yang kompleks dan mengenai bagian-bagian serta hubungannya
5. Sintesis (syntesis)ialah kemampuan untuk mengumpulkan komponen yang sama guna membentuk satu pola pemikiran yang baru.
6. Evaluasi (evaluation) ialah kemampuan untuk membuat pemikiran berdasarkan kritaria yang telah ditetapkan.



C. TEORI BELAJAR KONSTRUKTIF
Mengajar tidak secara otomatis menjadikan siswa belajar. Tugas guru dalam mengajar antara lain adalah membantu transfer belajar. Tujuan transfer belajar ialah menerapkan hal-hal yang telah dipelajari pada situasi baru, artinya apa yang telah dpelajari itu dibuat umum sifatnya. Melalui penugasan dan diskusi kelompok misalnya, seorang guru dapat membantu transfer belajar. Oleh karena itu fakta, prinsip, keterampilan, dan sikap yang diperlukan untuk terjadinya transfer belajar sudah dikuasai oleh siswa yang sedang belajar.

Biggie, 1989, merangkum perbedaan penting antara teori belajar perilaku dengan teori belajar kognitif. Seorang guru penganut teori belajar perilaku berkeinginan mengubah perilaku siswanya, sedangkan guru yang menganut teori belajar kognitif ingin mengubah struktur kognitif (pemahaman) siswanya.

Sesungguhnya ada dua kutub dalam pendidikan saat ini, yaitu tabula rasa dan konstruktivisme. Menurut rujukan tabula rasa, siswa diibaratkan kertas putih yag ditulisi apa saja oleh gurunya atau ibarat wadah kosong yang dapat diisi apa saja oleh gurunya. Dengan pendapat ini seakan-akan siswa bersifat pasif dan memiliki keterbatasan dalam belajar. Menurut rujukan konstruktivisme, setiap orang yang belajar sesungguhnya membangun pengetahuannya sendiri. Jadi siswanya dapat aktif dan terus meningkatkan diri dalam kondisi tertentu.

Struktur kognitif seseorang pada suatu saat meliputi segala sesuatu yang telah dipelajari oleh seseorang (Ausubel dalam Kalusmeier, 1994). Hasil belajar sendiri dapat dikelompokkan menjadi (1) informasi verbal; (2) keterampilan; (3) konsep, prinsip, dan struktur pengetahuan; (4) taksonomi dan keterampilan memecahkan masalah; (5)strategi belajar dan strategi mengingat. Seluruh hal itu dipelajari “initially”, direpresentasikan secara internal, diatur dan disimpan dalam bentuk “images”, simbol dan makna. Struktur kognitif mengalami perubahan sejak lahir dan maju berkelanjutan sebagai hasil proses belajar dan pendewasaan/kematangan. Konsep, prinsip, danstruktur pengetahuan (termasuk taksonomi dan hierarkinya), pemecahan masalah merupakan hasil belajar yang penting dalam ranah kognitif.



D. TEORI BELAJAR PRILAKU

Teori perilaku menitik beratkan pada aspek-aspek eksternal belajar, termasuk stimuli eksternal, respon perilaku siswa, dan penguatan yang mengikuti respon yang sesuai. Berdasarkan dengan teori perilaku yang dikemukakan oleh Thorndike tentang Law of Effect dalam Budayasa(1998: 11), bahwa respon menyenangkan yang dialami sebelumnya cenderung diulangi dan respon yang tidak menyenangkan yang dialami sebelumnya cenderung dibuang. Jadi menurut Thorndike kecuali hubungan antara stimulus dan respon, teori yang dikemukakan menekankan terutama pada prinsip-prinsip pengetahuan.
Sesuai dengan teori Thorndike di atas, pelaksanaan sistem pembelajaran di kelas tidak lepas dari pemberian penghargaan dan hukuman. Di samping dalam penyampaian pembelajaran guru kepada siswa tidak lepas dari penyampaian secara langsung informasi-informasi yang akan dipelajari oleh siswa. Sesuai dengan teori belajar perilaku agar ketuntasan belajar sains siswa dicapai maka materi ajar yang akan diberikan perlu dianalisis ke dalam bagian-bagian sederhana, menulis tujuan perilaku untuk tiap bagian, menyajikan informasi yang akan diberikan secara jelas dan ringkas, memberikan latihan-latihan berulang-ulang kepada siswa, memberikan umpan balik secepatnya terhadap respon yang diberikan siswa, dan sering mengulangi materi yang diajarkan.







































DAFTAR PUSTAKA


- Surya, Brata. Psikologi pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004
- Prof. Dr. H. Djaali. Psikologi pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara. 2006
- http://www.psb-psma.org/content/blog/teori-teori-belajar
- http://pembelajaranguru.wordpress.com/2008/05/31/konstruktivisme-struktur- kognitif-sekilas-pandang/
- http://anwarholil.blogspot.com/2008/04/teori-pembelajaran-perilaku.html